Apabila anda berkeinginan untuk beribadah kepada
Allah semata, padahal Allah telah menempatkan dirimu sebagai golongan orang
yang harus berusaha untuk meraih kehidupan dunia, maka keinginan seperti
termasuk syahwat yang halus. Sedangkan keinginanmu untuk berusaha, padahal
Allah telah menempatkan dirimu di antara
golongan yang rajin beribadah, maka mengikuti keinginanmu itu, menunjukkan
bahwa anda telah turun dari semangat dan
cita-cita yang tinggi.
Menurut syaikh Athaillah, ungkapan tajrid di
atas berarti meninggalkan sebab yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang
seharusnya dijalankan oleh orang-orang sadiqin, yakni dengan melaksanakan suatu
sebab tidak mrmbiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena
berniat meninggalkan urusan duniawi, sebab semata-mata hendak beribadah.
Watak yang dimiliki oleh orang sadiqin, ialah tidak
meninggalkan dunia karena akhirat, dan tidak meninggalkan akhirat sebab dunia.
Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat seperti yang dikehendaki oleh
Islam, adalah suatu keharusan yang patut diusahakan dan ditunjang dengan
perilaku akhlak Islami yang akan menunjang semua hal yang menyangkut urusan
duniawi dan ukhrawi.
Menempatkan kedua masalah tersebut di atas adalah
suatu jalan yang benar bagi orang sadiqin yang memandang kehidupan dunia dan
akhirat dalam semua perilaku manusia, saling menunjang dan tidak terpisahkan
satu dengan lainnya.
Kedudukan manusia dalam tajrid, karena
kehendak mentaati Allah Swt, lalu menanggalkan usaha (kasab), padahal ia
masih memerlukan kasab itu sebagai keperluan yang wajar secara duniawi,
maka kehendak tajrid seperti ini termasuk syahwat badani yang tidak pada
tempatnya. Oleh karena ia membutuhkan seperti pada umumnya manusia berhubungan
dalam hidup melalui tolong menolong yang berkaitan dengan sesama manusia.
Syahwat badani seperti ini memang syahwat yang
halus, karena bukan perbuatan yang tidak dibolehkan, akan tetapi tidak pada
tempatnya, apalagi kalau tajrid seperti itu adalah suatu keinginan agar
dianggap sebagai manusia zuhud (orang yang tidak berkehendak kepada
dunia, semata-mata karena Allah). Kehendak seperti ini bertentangan dengan
kehendak Allah sendiri, karena akan menjerumuskannya kepada syirik yang halus
pula.
Sebaliknya, orang yang telah mendapatkan keputusan
Allah untuk beribadah saja (dalam maqam tajrid saja) berarti ia sudah
tidak mempunyai tugas duniawi yang melibatkan dirinya pada ikhtiar duniawi,
hanyalah semata-mata beribadah, karena Allah telah memilih ia untuk hal itu.
Orang seperti ini bukanlah karena ia tidak memerlukan lagi kehidupan dunia,
untuk keperluannya yang primer, akan tetapi Allah telah menjamin kehidupan
dunianya dengan rezeki yang tak dapat diduga-duga. Dalam urusan duniawi ia tidak
terlalu mengharapkan mendapatkannya, karena ia telah siap menerima anugerah
Allah dengan jalan beribadah kepada-Nya semata.
Inilah
orang yang sadiqin di atas jalannya. Ia tidak tamak menghadapi hidup melewati
jalan tajrid, karena menempatkan duniawi sebagai hal yang tidak
mengikatnya sebagai belenggu yang merusak ibadahnya kepada Allah. Dalam
pelaksanaan ibadah kepada Allah, ada dua hal yang perlu diingat, lalu
menempatkan diri secara teguh (istiqamah) pada tempat yang
dipilih si hamba untuk perjuangan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Kedudukan dua hal ini tidak berbeda. Karena niat yang tersembul dari
perbuatan seperti itu sama kedudukannya, yakni untuk beribadah. Masalahnya
sekarang adalah bagaimana seseorang
menekuni perilaku ibadahnya. Di satu pihak keinginan tajrid
lebih kuat dan lebih dominan, di pihak lain keinginan duniawi lebih condong
mengikuti semua perbuatan sebagai ibadah
juga.
Untuk menghilangkan keraguan
(was-was) dalam diri hamba yang sadiqin, maka harus menekuni dua perilaku
tersebut, sehingga masing-masing mampu memberi
nilai lebih dan menjadikannya sebagai ibadah yang bermanfaat dunia dan
akhirat.
Meskipun demikia, perlu dipahami bahwasanya maqam tajrid
yang telah dipilih seorang hamba yang sadiqin adalam maqam yang mulia, karena tidak
semua orang mampu berada pada maqam tersebut. Maqam tajrid ini adalah pilihan
Allah atas hamba-Nya dalam hubungannya dengan peribadatan yang khusus.
Adapun
ciri-ciri hamba yang sadiqin dan tajrid, diantaranya:
- Mendekatkan diri kepada Allah Swt, akan tetapi tidak mengabaikan duniawinya.
- Mengkhususkan diri beribadah semata - mata kepada Allah, karena Allah Swt telah menjamin hidup
- duniawinya, karena ibadah – ibadah yang ia amalkan.
- Menempatkan diri sebagai orang yang berqana’ah (hidup sederhana) dan menjaga kehormatan (iffah) dalam hubungan dengan sesama manusia.
- Tidak menyia-nyiakan pemberian Allah yang telah diterima oleh si hamba (seperti rezeki) yang tak terduga, untuk kepentingan manusia lainnya. Kemudian ia tetap istiqamah dalam ibadah yang dijalankannya.
- Jiwa dan ruh mereka tenang menikmati ibadah kepada Allah Swt.
- Mengembalikan seluruh persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada Allah Swt. Serta mengerjakan sesuatu perbuatan semata-mata karena izin Allah.
Demikian sifat-sifat orang-orang sadiqin yang
beriman kepada Allah atas segala ciptaannya, menerima atas segala kejadian baik
dan buruk yang datang dari Allah, kemudian berusaha untuk memberi faedah kepada
sesama hamba Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar