Rabu, 17 Agustus 2011

NASIONALISME DAN KORUPTOR


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasionalisme adalah 1) faham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; 2) kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Definisi ini sungguh amat mulia, karena membawa pengertian nasionalisme pada tataran pengabdian untuk menjunjung tinggi kebesaran harga diri bangsa.
Jika definisi yang dibuat KBBI dapat dibenarkan secara akademis dan politis, bagaimana dengan para pejabat dan pembesar negara yang korup, apakah mereka layak disebut warga negara yang nasionalis?. Dulu di masa orde lama, Bung Karno sangat menekankan pentingnya berjuang untuk kehidupan negara dan bukan mencari hidup dalam bernegara. Rakyat diminta berkorban untuk kejayaan negara dan bukan merong-rong kewibawaan negara.
Hal yang sama menjadi ajaran pemerintahan orde baru, ketika Soeharto dengan semangat jiwa Pancasilanya menekankan kepada segenap rakyat untuk mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Kedua orde itu lalu ditumbangkan dengan penuh kebencian dan caci maki. Masing-masing pemimpin besar itu dianggap menghianati amanat rakyat karena telah melanggar konstitusi serta merusak sendi-sendiri bangsa dan negara. Nasionalisme tidak akan mencederai kecintaan terhadap negara dan bangsa.
Hilangnya Rasa Nasionalisme
Secara leksikal, cinta (love) adalah sebuah perasaan kuat yang timbul dari kasih sayang mendalam kepada seseorang, benda atau negara. Orang yang mencintai sesuatu maka akan (rela) menjadi budaknya, persis seperti adagium Arab, ia siap berkorban untuk mempertahankan cintanya dengan segala resiko dan konsekuensi. Para pejuang kita rela menyerahkan selembar jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia tanpa pamprih apa pun.
Para pendidik kita di pedalaman rela hidup bersusah payah untuk membagi pengetahuannya dengan anak-anak bangsa yang terbelakang dengan honor yang kecil. Para tentara kita di wilayah-wilayah perbatasan, selalu siap menyerahkan jiwa untuk mempertahankan setiap jengkal kedaulatan negara dari segala bentuk infiltrasi dan ancaman asing. Ungkapan cinta dapat diimplementasikan dalam berbagai cara menurut kapasitas dan kemampuan potensi yang dimiliki masing-asing orang (rakyat), sebagaimana terlihat dalam momen Agustusan. Semua dilakukan karena cinta pada negara dan bangsa.
Sekarang, setelah sepuluh tahun reformasi berjalan, rasa cinta terhadap bangsa dan negara mengalami pengelupasan yang mencederai rasa keadilan. Pengakuan cinta terhadap bangsa dan negara yang menuntut pembuktian riil melalui tindakan dan perbuatan, telah terkikis oleh keserakahan egoistik dari berbagai lapisan kelompok elit tertentu.
Jika terorisme dengan segala aksinya dicap sebagai musuh negara yang mendelegitimasi hak-hak pelakunya sebagai warga negara, hal itu tidak berlaku bagi korutor. Sekalipun kejahatan korupsi terbilang kejahatan yang membahayakan negara.
Koruptor di negeri ini jauh lebih enak perlakuannya di depan hukum, sekalipun jiwa nasionalismenya identik dengan teroris. Kita patut geram dengan pemandangan yang tidak adil itu. Betapa tidak? Sering kita lihat para koruptor divonis ringan (atau bahkan bebas) jauh melampaui nilai kejahatannya, dibanding dengan pencuri pisang, cokelat dan atau pemungut ranting-ranting di kawasan hutan (negara) yang dipenjarakan karena alasan pelanggaran.
Penjara bagi koruptor tidak bedanya seperti tempat persinggahan sementara yang tidak perlu ditakutkan. Karenanya putusan pengadilan yang menyeret mereka ke dalam penjara, tidak membawa efek jera bagi calon karuptor yang lain. Sebab hak remisi menjadi jaminan yang telah menunggu mereka. Bahkan, kebebasan bisa mereka diperoleh jika telah menjalani hukuman selama 2/3 dari masa yang telah ditentukan.
Selama ini kita melihat tidak ada kesamaan pandang antara penegak hukum dan kehendak rakyat dalam mensikapi koruptor. Bagi rakyat, koruptor adalah musuh negara dan bangsa yang tidak layak diperlakukan sebagai warga negara yang memiliki hak-hak dalam bernegara sebagaimana warga negara lainnya. Sebab koruptor telah gagal membawa amanat dalam menjalankan kewarganegaraannya secara benar dan sekaligus kehilangan rasa nasionalisme.
Tindakan korup yang dilakukan koruptor bukan saja mencederai cintanya terhadap negara, tetapi juga menggerogoti kewibawaan negara dan meruntuhkan sendi-sendi bangsa. Di sini para penegak hukum tidak memiliki ketegasan sikap dalam memandang posisi koruptor. Sehingga keputusan-keputusan hukum yang di ambil sering mencederai rasa keadilan rakyat dan rasa nasionalisme.
Berapa besar jumlah anak bangsa ini yang menjadi korban keserakahan koruptor; mereka putus sekolah, banyak sekolahan yang bobrok dan runtuh, jalan-jalan berlubang, ekonomi timpang, rakyat kelaparan, pembangunan tidak merata dan seterusnya. Negara dan bangsa dikorbankan untuk ambisi pribadi. Dalam diri koruptor, rasa nasionalisme tidak lagi ditemukan kecuali nasionalisme yang absurd.
Penghianat Pancasila
Adalah sangat ironi dalam tatanan hukum negara yang berasas Pancasila dikatakan, bahwa koruptor masih memiliki jiwa Pancasila. Sebab dari segala aspek yang terkait dengan butir-butir pancasila, tidak satu pun tindakan yang dilakukan koruptor sesuai dengan ajaran Pancasila. Dari aspek ke-Tuhanan, tidak ada ajaran Tuhan yang membenarkan korupsi. Di tinjau dari asas kemanusiaan yang adil dan beradab, korupsi sangat bertentangan dengan asas ini, arena korupsi tidak mengenal sisi kemanusiaan yang berperadaban. Dari asar persatuan, keruptor cenderung mencabik-cabik kebersamaan dan memunculkan saling curiga.
Saat ini persatuan anak bangsa sedang dipertaruhkan dalam menghadapi kekuatan korup, karena para koruptor kelas kakap sewaktu-waktu dapat menggunakan seluruh potensinya dari segala arah. Hukum diacak-acak dan dibenturkan, sementara masyarakat dibelah secara vis a vis antara pendukung dan penentangnya. Begitu pun keadilan sosial yang seharusnya merata untuk kepentingan rakyat, tersumbat oleh perilaku koruptif yang mereka lakukan. Tepat sekali, korupsi adalah menghianati Pancasila.
Dari berbagai tinjauan ini, maka sangat tidak tepat jika kejahatan korupsi sanksi hukumnya sama dengan penjahat-penjahat lain yang bukan masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (ordinary crime), semisal kejahatan yang dilakukan antar personal. China adalah salah satu contoh negara yang patut ditiru model pendekatannya dalam menangani kejahatan ini, yakni hukuman mati. Sebab yang menjadi taruhan bukan hanya rakyat tetapi negara dan bangsa.
Bandingkan dengan hukum agama (Islam). Dalam perspektif agama kedudukan koruptor dipandang seperti pengacau (disturber of the peace), sanksi hukumnya adalah (minial) diisolasi dan (maksimal) hukuman mati. Menghadapi koruptor tidak perlu menggunakan hati, sebab koruptor adalah pembunuh berdarah dingin yang setiap aksinya dilakukan secara sistemik tanpa memandang akibat. Kini saatnya seluruh elemen masyarakat yang berjiwa nasionalis murni, bertindak mengembalikan kewibawaan negara dan bangsa dengan mengganyang koruptor di segala sektor.
READ MORE - NASIONALISME DAN KORUPTOR

AKAABIRA MUJRIMIIHA



            Dalam beberapa minggu terakhir, perhatian kita tersedot oleh gegap gempita persoalan kasus skandal korupsi, mafia hukum dan makelar kasus (markus). Munculnya kasus  ini sunguh mengingatkan kita sebuah ayat dalam al-Quran yang sangat fenomenal sekalipun diturunkan 15 abad lalu. Dalam kitab suci ini Tuhan menegaskan:  “Dan Demikianlah kami jadikan dalam setiap negeri penjahat-penjahat besar agar mereka membuat rekayasa di dalamnya; (al-An’aam: 123).
            Muncul pertanyaan dalam hati dan pikiran kita: siapa yang dimaksud penjahat-penjahat besar dalam ayat itu? Ibnu Abbas salah seorang ulama ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud akaabira mujrimiiha adalah pembesar-pembesar yang jahat. Lebih lanjut ahli tafsir tertua ini menjelaskan. dengan fasilitas jabatan yang dimuliki mereka melakukan rekayasa-rekayasa kasus sehingga terjadi kekacauan yang dahsyat. Pendapat yang sama disampaikan Mujahid dan Qatadah, dua ulama terkemuka di masa sesudahnya.
            Tafsir yang disampaikan Ibnu Abbas dan para ahlinya ini terasa sekali masih kurang lengkap jika dikembalikan pada kondisi sosio-politik sekarang. Realitasnya lebih dahsyat dari itu. Maka sesuai dengan watak universalitas al-Quran yang bisa difatsirkan menurut kondisi zaman, pengertian ayat akaabira mujrimiihaa dapat diperluas maknanya menjadi “penjahat-penjahat besar”.  
Kita lihat,  betapa machingnya ayat itu dengan realitas sekarang. Hampir di setiap negara muncul penjahat-penjahat besar yang memiliki peran signifikan dalam membangun kartel kekuasaannya.  Fasilitas finansial yang mereka miliki dijadikan modal untuk memainkan praktek mafioso dengan para pejabat teras secara leluasa, untuk mengatur segala penyimpangan yang seharusnya lurus. Bersatunya dua kekuatan besar yang jahat ini, akan memunculkan kehancuran dan ketidak adilan.
Logika hukum pun mengalami kesulitan mejerat mereka. Sebab gerakan operasional kelompok ini tidak sama dengan penjahat-penjahat kecil yang vulgar dalam setiap aksinya. Suara nurani akan diacak-acak tanpa daya, sekalipun bermuara dari arus masyarakat yang lebih besar.    Masyarakat akan tetap menjadi permainan praktek kejahatan mereka. Tetapi yang perlu dicatat, sepanjang sejarah kebudayaan manusia, tidak ada kejahatan yang mampu melenggang terus menerus dan selamat dari gilasan kekuatan massa, sekalipun harus menggunakan cost besar.

                               
 
READ MORE - AKAABIRA MUJRIMIIHA

Senin, 15 Agustus 2011

Pembangunan Kudus Tanpa Konsep


Belakangan ini Pemerintah Kabupaten Kudus sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan pusat perbelanjaan. Bupati Mustafa nampaknya melihat, betapa Kudus yang notabene kota kecil ini memiliki potensi besar untuk pengembangan ekonomi dan sekaligus menjadi arena rekreasi shoping. Kudus adalah kota persimpangan yang yang secara geografis terletak di pertengahan antara empat kabupaten; Jepara, Purwodadi, Pati, Demak. Potensi ini sangat menjanjikan bagi peningkatan ekonomi masyarakat khususnya bagi PAD Kudus.
Persoalannya bagaimana cara penangan yang dilakukan oleh kepada daerah Kabupaten ini (Kudus), apakah sesuai dengan kondisi sosiologis dan regulasinya atau tidak. Di bawah ini kami mengajak pembaca mencermati wawancara kami bersama seorang pegiat sosial  dan politik alumni dari Universiti Malaya, Malaysia, Fakultas Dakwah dan Pembangunan Sumberdaya Manusia. Ia adalah Asmaji Muchtar, Ph.D atau yang popular dengan nama Abu Asma Anshari yang berprofesi sebagai Dosen Pasca Sarjana pada Islamic Studies Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Universitas Sains Al-Qur'an Wonosobo.
- Bagaimana anda melihat pembangunan di Kudus selama tiga tahun pemerintahan Mustafa, apakah sudah sesuai dengan keinginan masyarakat yang dikenal religius?
+ Saya mendengar dan saya melihat, pasca kemenangan Mustafa yang dilanjutkan dengan kepemimpinan dia di Kusud, muncul persoalan-persoalan yang kurang lebih sama dengan yang terjadi di beberapa kabupaten lain terkait dengan rooling job di lingkungan Pemda. Di sini bupati melakukan pergantian jabatan secara politis tanpa memperhatihan prinsip the right man of the right place, the right man of the right job. Orang yang bertahun-tahun mengabdia dalam pemerintahan di bidang pendidikan, di paksa menangani pariwisata, atau ada pula yang memiliki keahlian yang sama dipindah ke bidang trasmigrasi, dan masih banyak lagi. Pemindahan ini jelas mengabaikan prinsip-prinsip tersebut. Saya curiga Bupati tidak memahami prinsip itu. Sebab dengan mengesampingkan prinsip tersebut, orang dipaksa mengulang dari nol. Bagaimana dia mampu bekerja baik jika keahlian di bidangnya tidak dikuasai.
Soal apakah langkah-langkah Mustafa itu sesuai dengan keinginan masyarakat Kudus atau tidak, itu perlu dibuktikan melalui survey yang adil dan ilmiah.
- Kalau yang Anda katakana itu merupakan kesalahan langkah Mustafa di awal pemerintahannya, toh itu sudah diperbaiki. Sekarang berbeda, kali ini Mustafa membuat terobosan-terobosan mencengangkan di bidang pengembangan ekonomi. Dia membangun mal yang letaknya strategis, yakni di depan Matahari Store. Bagaimana Anda melihat.
+ Saya ingin meluruskan statemen anda yang pertama bahwa Mustafa sudah memperbaiki kesalahannya dengan mengganti orang-orang yang lebih kapabel di bidangnya. Justeru ini sangat aneh, seolah-olah ia menangani pemerintahan seperti orang sedang latihan membuat roti, di mana dia menggunakan metode trial and error, coba-coba. Saya melihat, model pemerintahan seperti ini paling disukai oleh para politisi kita yang terjun dalam pemerintahan tanpa bekal pengalaman. Seakan-akan mengurus Negara dan membangun pemerintahan itu dapat dilakukan secara spekulatif. Kalau begini caranya kapan negara ini maju. Bahkan, mustahil negara ini bisa baik. Sebab pola yang diterapkan dari atas hingga bawah semua sama.
Mengenai terobosan membuat mal seperti yang Anda katakana tadi, justeru itu acsiden, kecelakangan yang parah. Di sini Mustafa telah melanggar prinsip peruntukan kawasan dan tatakota. Asas pemindahan terminal induk Kudus ke Tanggulangin yang dilakukan oleh Bupati sebelumnya, tidak lain untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan hijau. Sampai sekarang belum ada perda atau regulasi lain yang membolehkan kawasan tersebut untuk peruntukan lain. Tetapi enehnya DPRD yang diposisikan oleh rakyat sebagai wakil mereka juga tenang-tenang saja. Masayarakat dalam kes ini sesungguhnya bisa melakukan class action, terutama oleh stakeholeder`s yang masih memiliki nurani dan pengabdian kepada masyarakat, ketika melihat para wakilnya tidak berdaya.
- Tapi, bukankah itu pembagunan yang strategis untuk menaikkan citra Kudus dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang perlu diapresiasi?
+ Untuk apa citra, kalau isinya penuh borok dan kudis?. Bagi orang yang tidak mengerti pembangunan akan berpendapat begitu, tetapi bagi yang mengerti arti pembanguan akan berkata lain. Prinsip pembanguna yang benar itu apa?, mensejahterakan masyarakat secara umum (luas) dan bukan merusak lingkungan. Dari segi strata sosial yang dibidik dalam pembangunan itu pastilah bukan kelas bawah. Artinya, rakyat kelas bawah yang hidup di perlintasan garis kemiskinan atau di atasnya sedikit, tidak mungkin mampu menggunakan uangnya untuk belanja. Karena penghasilan mereka tidak cukup. Mestinya, Mustafa mengarahkan pembangunan di sektor ini. belum lagi ditinjau dari segi kerusakan lingkungan.
Anda jangan salah persepsi. Dalam sudat pandang sosiologis, yang disebut kerusakan lingkungan itu bukan hanya terkait dengan jumlah tanaman yang ditebang. Tidak tersedianya areal parkir memadai menyusul berdirinya sebuah objek fasilitas umum yang berdampak pada kesemprawutan lalu lintas, itu juga bagian dari kerusakan lingkungan. Di Jepang, Singapura dan juga Malaysia, sebelum dilakukan sebuah pembangunan yang berdampak pada keramaian, pertama-tama yang dipikirkan adalah bagaimana efek sosiologisnya. Bagaimana dengan tempat pakirnya dan bagaimana dengan kelangsungan hidup perdagangan kelas bawah?
Anda juga perlu tahu. Dulu, saat Mal Ramayana-Robinson di bangun di kasawan alun-alun, ada sejumlah tanaman (pohon) yang dikorbankan. Saat itu Kantor Lingkungan Hidup (Kabupaten Kudus) bereaksi keras, begitu juga ada sejumlah LSM yang bereaksi sama. Padahal, area itu peruntukannya tidak menyalahi aturan, dari area ekonomi kembali ke ekonomi. Yang terjadi sekarang tidak. Yang dikedepankan adalah prinsip pembangan mercusuar, pembangunan yang wah, sekalipun isinya keropos. Saya akan lebih apresiatif kepada Bupati Mustafa kalau dia mampu melebarkan jalan alternatif di Kedungpaso (Jl. Dr Wahidin) dan memasang traffic light di perempatan Menara.
- Ah, Anda ini aneh. Masak perbandingannya dengan hal yang kecil-kecil begitu?
+ Orang lain mungkin memandang remeh, tetapi saya (memandangnya) tidak begitu. Kalau yang remeh-remeh saja tidak mampu apa lagi pembanguan yang lebih besar?. Kalau hanya membuat mal, siapa saja bias, selama tandatangannya laku. Apalagi bukan uang sendiri. Contohlah founding father kita, Soekarno. Beliau itu bukan hanya agitator yang ulung, tetapi juga konseptor yang baik dalam bidang pembangunan. Sehingga kepada Amerika pun, beliau berani mendongakkan kepala karena keberhasilannya. Hanya Soekarno kurang beruntung karena langkah politik yang salah.
Di Kudus ini masih banyak agenda pembangunan yang belum tertangani. Persoalannya, apakah pemimpinnya itu memiliki konsep atau tidak, apakah bupati memiliki maping area atau tidak. Kalau Bupati punya konsep pembangunan yang baik ideal yang berimbas pada peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pasti tidak perlu mengorbankan sebuah tatanan yang sudah disepakti sebelumnya. Masyarakat kita itu terlalu baik, pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh pemimpinnya, dan dalam waktu kepemimpinannya tidak membawa efek manfaat yang memadai, tidak juga direspon secara negatif. Bukatinya, ada banyak bupati incumbent yang sebelumnya gagal menjalankan tugas pembangunan, ternya dipilih lagi. Yang demikian ini hanya ada di Indonesia.
- Menurut Anda, bagaimana pemimpin yang baik dalam menjalankan pembangunan?
+ Untuk menjawab pertanyaan ini Anda bisa mencontoh pola kepemimpinan yang terapkan oleh Soeharto dalam satu sisi, sekalipun kita membenci beliau. Mulanya Soeharto itu tidak memiliki kapabilitas dalam bidang ekonomi, taunya beliau itu represif. Namun untuk membangun tatanan ekonomi yang bagus – dulu dikenal dengan konsep ekonomi Pancasila – beliau memanggil sejumlah pakar ekonomi untuk diskusi. Misalnya, Prof. Wijojonitisastro, Prof, Sadli, Fran Seda, BJ. Sumarlin, Prof. Emil Salim, dan masih banyak lagi. Dari pendapat-pendapat mereka ini lalu di ambil Soeharto untuk diterapkan sebagai kebijakan negara dalam pembangunan ekonomi. Hasilnya, Indonesia dalam beberapa waktu mampu bersuasembada pangan. Indonesia menjadi Negara percontohan di bidang pertanian dan bahkan Indonesia menempati negara yang paling baik pertumbuhan ekonominya, sehingga mendapat predikat macan Asia.
Kita mengakui, total nilai utang Indonesia saat itu sangat besar, mendekati seribu triliun. Tetapi nilai utang sebesar itu tidak jadi masalah selama pertumbuhan ekonomi sangat ekspansif. Beda sekarang, pertumbuhan ekonominya lambat, jumlah orang miskin meningkat tajam, sementara hutang negara juga mencengangkan besarnya. Ini karena negara konsep pembangunan tidak menyentuh substansinya. Sayangnya, belakangan Soeharto terjerat oleh angkah politiknya sendiri hingga jatuh.
- Apa yang harus kita lakukan?
+ dalam skala kecil (baca Kudus), kita harus mengingatkan Bupati. Kalau tetap ngeyel yang class action, itu sah dan dijamin undang-undang. Sebab Bupati telah melakukan pelanggaran.
READ MORE - Pembangunan Kudus Tanpa Konsep

Al QUR'AN DAN SIMBOL PERADABAN


Salah satu fungsi utama al-Quran adalah hudan, yang berarti pengarah, petunjuk atau pembimbing. Pengertian hudan secara etimologi berarti petunjuk yang diberikan secara halus menuju ke arah sesuatu yang dicari. Dalam surat al-Baqarah (ayat 2) disebutkan, al-Quran berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi orang-orang yang bertaqwa. Penegasan kata “orang-orang beriman” menunjukkan pembatasan maksud dalam tataran dogmatis-religius.
Di bagian lain fungsi al-Quran disebut sebagai petunjuk bagi manusia (al-Baqarah: 185). Penegasan Allah dalam ayat ini bersifat universal tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan. Selama dia disebut manusia maka berpeluang memperoleh hudan.
Fazl al-Rahman Anshari mengatakan, ada tiga fungsi utama diturunkannya al-Quran adalah untuk membangun sifat religiustas dan bukan spekulatif; untuk mengembangkan kepribadian manusia dan masyarakat social berdasarkan agama serta tidak bersifat spekulasi dalam mengambil dan menetapkan rasio; membimbing manusia berdasal ilmu dan hikmah Tuhan yang absolut dalam bentuk pernyataan-pernyataan kebenaran.
Tentu masih banyak fungsi lain yang melekat dalam diri al-Quran bagi kepentingan hidup manusia. Baik untuk kepentingan individual, kelompok atau bagi kepentingan universal. Tulisan ini hanya akan mengupas satu fungsi terbesar Al-Quran bagi peradaban manusia.
Sebagaimana telah diketahui bahwa surat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad saw adalah al-Alaq: Bacalah!. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan demi Tuhanmu yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan qalam. Yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya (ayat 1 – 5).
Di dalam ayat tersebut perintah pertama kali yang diturunkan Allah kepada manusia adalah membaca. Menurut Ibrahim Anis, membaca adalah mengikuti kalimat demi kalimat yang tertera, baik secara penglihatan maupun pengucapan. Pengertian ini membawa maksud penyerapan informasi ke dalam pikiran dan perenungan (pengangan-anganan) di dalam hati. Jadi inti membaca adalah penggabungan dua unsur terpenting bagi manusia yang menjadi penggerak dirinya untuk berkarya dan berkarsa, yaitu pikiran dan hati. Dari membaca inilah kemudian pengetahuan manusia berkembang sesuai dengan perubahan jaman dan tuntutan kebutuhannya.
Ada dua tingkat pemahanam sangat urgen dalam memahami al-Quran , yaitu: tingkat kesadaran religuitas yang ditangkap oleh indera manusia dan tidak dapat diilustrasikan; dan tingkat kesadaran teoritis yang sangat menuntut adanya pendalaman serta penelitian di balik teks al-Quran. Masing-masing tingkat ini memiliki jangkuan lebih jauh yang dapat dikembangkan manusia dalam merefleksikan al-Quran.
Tanpa itu maka al-Quran akan menjadi sebuah kitab wahyu yang hanya berfungsi untuk memproduksi pahala tanpa pemahaman arti yang terkandung di dalamnya. Allah menurunkan al-Quran bukan sekedar menjadi alat produksi pahala.
Seorang dokter bedah asal Perancis, Maurice Bucaille, yang tiba-tiba mencuat namanya sebagai “mufassir” kontemporer menyusul bukunya The bible, The Qur’an and Science yang terbit (1972) mengatakan, al-Quran bukan saja berbicara tentang amal-pahala dan surga-neraka, tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Di tangan Bucaille, meminjam istilah Jalaluddin Rahmat, ayat-ayat al-Quran seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern. Dalam waktu singkat, popularitas Bucaille mampu menengelamkan para mufassir ilmi seperti Fahrurrozi, al-Baidhawi, an-Nisaburi maupun penafsir kontemporer Tanthawi Jauhari.
Terlepas dari kemampuan Bucaille yang lebih menguasai pengetahuan modern, al-Quran memang diakui banyak pihak sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jauh sebelumnya, al-Ghazali pernah membuat kesimpulan serupa bahwa al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas.
Persoalannya adalah adanya gap yang tidak terbatas pula antara ilmu Tuhan yang memiliki sifat al-Alim (Maha Tahu) dengan pengetahuan manusia yang lekat dengan predikat al-jahil (kurang cerdas). Keterbatasan pengetahuan manusia inilah yang sering mengundang ketergesaan intelektual untuk memvonis sesuatu sImbol ayat yang tidak mampu dijangkau oleh pemikirannya.
Prof. Tanthawi Jauhari, ketika menafsirkan penutup ayat ke 8 an-Nahl: Dan Dia telah menciptakan kuda, baghal dan keledai, agar kamu mengendarainya dan menjadikannya perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui; beliau mengatakan, ayat ini menjadi petunjuk bahwa segala perbendaharaan yang tersimpan di dalam bumi seperti logam dan sejenisnya, dapat dieksploitasi menjadi bahan untuk memproduk kendaraan dan alat transportasi, semisal mobil, kereta api, pesawat udara, kapal laut dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa al-Quran telah memberi wacara perspektif dan visioneri yang lebi jauh dari sekedar angan-angan.
Ketika al-Quran berbicara tentang teknologi, ia menenkankan pada pentingnya arti menguasai (taskhir) dan pemikiran (tafakur) terhadap suatu usaha pemanfaatan alam melalui pengunaan ilmu maupun penciptaan ilmu itu sendiri. Prof. Abdul Salam, satu-satunya ilmuan muslim penerima nobel fisika tahun 1979, di dalam epilognya mengatakan: Kitab suci ini mengemukakan kepada kita contoh Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman dengan penguasaan mereka terhadap teknologi di masanya.
Dan Kami jadikan besi lunak baginya”; (Q.S. 34: 10). Di lain ayat: “Kami tundukkan angina baginya”; (34:12). Dan “Ia mempunyai jin-jin di bawah perintahnya”; (34:12). Dalam pandangan Abdul Salam, ketiga ayat tersebut diartikan sebagai kemampuan mengendalikan mesin-mesin berat di jaman itu yang dioperasionalkan untuk memproduksi balok-balok bangunan istana, bendungan dan waduk. Penjelasan ini mengingatkan kita pada sejarah Dzulqarnain (Alexander De Groote) yang membangun benteng-benteng pertahanan menggunakan konstruksi balok-balok besi yang dilapisi dengan cairan tembaga.
Jauh sebelum itu, ketika Tuhan memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat kapal di bawah supervisi dan petunjuk-Nya (bi a’yunina wa wahyina), susah dibayangkan bagaimana Nuh memotong pohon dan membelahnya menjadi papan-papan, dan bagaimana pula beliau menyusunnya menjadi sebuah geladak kapal. Apakah Nabi Nuh mengerjakan semuanya menggunakan lempengan batu – sebagaimana sering disampaikan oleh para ahli sejarah neoilitikum – karena di masa itu diklaim belum ada teknologi besi. Argumentasi itu tentu menjadi aneh ketika diperbandingkan dengan (misalnya) pengrajin meja-kursi (mebelair) di secara umum. Hanya untuk membuat meja-kursi, tukang kayu memerlukan gergaji, serut, hammer (palu), paku dan beberapa jenis peralatan lain untuk mendukung terbentuknya sebuah meja-kursi yang bagus.
Maka, sangat tidak rasional, jika orang yang akan membuat meja-kursi saja memerlukan beberapa alat tersebut, sementara pembuatan kapal Nabi Nuh cuma menggunakan lempengan batu karena klaim neolitikum!. Di sini menunjukkan adanya sesuatu yang hilang (missing link) dalam kajian ilmiah untuk menelusuri kebenaran sejarah teknologi itu. Betapa ayat al-Quran yang menerangkan peristiwa pembuatan kapal Nabi Nuh, sudah mengenal serangkaian teknologi besi yang dipersiapkan untuk pembuatan kapal, jauh sebelum kajian manusia sampai ke sana.
Dalam sebuah ayat yang lain, Allah menegaskan bahwa orang-orang yang sombong kepadaNya, tidak akan pernah dibukakan pintu-pintu langit dan tidak masuk surga, kecuali jika unta masuk ke lubang jarum (al-A’far: 40). Ayat ini jika difahami secara tekstual, tidak menghasilkan makna apa-apa selain pemahaman yang berhubungan dengan keimanan. Padahal ayat ini memiliki pengertian yang sarat dengan nilai peradaban.
Jarum, yang dikatakan Allah dalam ayat itu, sebelumnya tidak dikenal orang. Tetapi al-Quran (Allah) telah memperkenalkannya sebagai simbol pengetahuan modern yang merubah peradaban manusia. Hanya dengan jarumlah manusia mampu menciptakan budaya baru yang membedakan antara manusia terbelakang dengan manusia modern. Paris menjadi kota mode terkemuka di dunia juga karena jarum!
Tepat sekali Abdul Salam, kitab suci al-Quran tidak mengemukakan sesuatu begitu saja, namun sekaligus menjadi dorongan proyeksi ke depan dan menjadi contoh untuk diikuti masyarakat. Jika ayat-ayat tersebut dikaji, maka secara substansif yang munculkan adalah pengertian metalurgi, teknik konstruksi berat, teknologi energi yang menggunakan jasa udara (angin) dan komunikasi.
Landasan pemikiran tentang masalah itu sudah lama disajikan kepada kita. Persoalannya adalah sejauh mana kemampuan generasi ini mengeksploitasi ayat-ayat al-Quran menjadi sebuah menu yang berguna untuk membangun sebuah peradaban terbaru yang ramah dengan lingkungannya.
READ MORE - Al QUR'AN DAN SIMBOL PERADABAN

AL QUR'AN DAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI

Ketika buku La Bible, La Coran, et la Science karya Dr. Maurice Bucaille, seorang dokter ahli bedah di Perancis terbit dan diterjemahkan dalam beberapa bahasa; Inggris, Arab, Turki, Serbo-Croat dan Indonesia, sejumlah kalangan muslim terhenyak kagum dan sekaligus terhibur. Al-Quran bukan saja fasih berbicara tentang surga, neraka, pahala, siksa dan dimensi-dimensi lain non-material, tetapi juga tentang banyak penemuan ilmiah mutakhir yang belum pernah tersentuh. Ayat-ayat al-Quran seakan-akan mempunyai makna baru yang benar-benar sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan modern, sekalipun premis ini tentu tidak benar; karena al-Quran memang sarat berisi pengetahuan super modern yang memerlukan rasio penalaran ganda untuk membongkarnya.
Dalam sebuah paragrap tulisannya, Bucaille mengkritik para mufasir yang menterjemahkan ayat-ayat secara salah karena tidak memiliki disiplin pengetahuan ilmiah tertentu yang diperlukan untuk memahami arti yang sebenarnya. Menurut Bucaille, hal itu disebabkan oleh tradisi para mufasir yang sering dianggap sangat berwenang, walaupun mereka tidak memiliki pengetahuan ilmiah. Gaya tafsir itu dapat dilihat dalam tafsir-tafsir kelasik yang memasung kretifitas penafsiran baru dan hanya menitik beratkan pada persoalan-persoalan keagamaan secara an sich. Para ahli tafsir kelasik telah gagal dalam menguraikan makna ayat-ayat yang berhubungan dengan alam, yang dalam tradisi keilmuan disebut tafsir ilmi.
Kritikan Bucaille itu bukannya tidak menuai kecaman dari sejumlah cendekiawan muslim. Secara tegas Dr. Ziauddin Sardar menolak upaya mengilmiahkan ayat-ayat al-Quran yang disesuaikan dengan rasio empirik. Sebab jika suatu ayat ditarik paksa untuk menunjang suatu teori ilmiah, yang terjadi adalah penafsiran ilmu pengetahuan oleh al-Quran dan bukannya ilmu pengetahuan menafsirkan al-Quran. Akibatnya jika teori keilmuan itu jatuh, maka jatuh pula nilai kesucian ayat al-Quran. Kebenaran al-Quran adalah kebenaran mutlak, sedangkan kebenaran ilmiah adalah bersifat nisbi, karenanya selalu berubah mengikuti dinamika perubahan jaman.
Kehebatan al-Quran dengan sifat ‘ijaz-nya selalu menarik orang lain untuk berkomentar. Jauh sebelumnya, Dr. Hartwig Hirschfel dari Inggris secara simpatik mengatakan; kita tidak usah terkejut menyaksikan sumber ilmu pengetahuan dalam al-Quran. Setiap subjek yang ada di dalamnya, berhubungan dengan langit atau bumi, kehidupan manusia, perniagaan dan berbagai bentuk perdagangan juga terkadang disinggung; semua ini memberi ransangan munculnya berbagai risalah ilmu pengetahuan.
Hal sama disampaikan Robert Briffautl; ia mengatakan; al-Quran bukan hanya menghimbau pemikiran serta penyelidikan alam semesta secara umum. Ia berbuat jauh lebih banyak dengan memberikan tuntunan mengenai metode penataran induktif, untuk memberikan prinsip-prinsip pokok mencakup kesatuam alam, kesatuan umat dan kesatuan ilmu. Masih banyak para pemikir non-muslim yang apresiatif terhadap al-Quran. Tetapi, menurut Fazlurrahman Ansari, satu literatur keagamaan yang suci ini sering kali kita timbun di bawah gramatika dan retorika sehingga jarang diajarkan sesuai tuntutan yang ada di dalamnya, karena takut bahwa kajian yang bermakna atas al-Quran dapat mengacaukan status quo, bukan saja dalam ranah pendidikan dan teologi tetapi juga di bidang sosial. Kebenaran ajaran al-Quran harus ditransformasikan secara riil oleh umat ini guna membuktikan kredo mereka sebagai umat pilihan.
*****
Peristiwa di Gua Hira` yang terjadi pada abad ke 7 menandai titik awal pembangunan dunia baru. Hal ini dimulai dengan kehadiran informasi dari alam lain yang telah lama terhenti hingga mengakibatkan kacaunya tatanan dunia. Perintah membaca (al-Alaq: 1-5) yang disampaikan Jibril kepada Muhammad saw adalah gabungan dua dimensi antara science dan keyakinan, eksoteris dan esoteris; yang satu (iqra`/membaca) menjadi dasar terbentuknya manusia berbudaya yang mengarah pada kemajuan ilmu pengetahuan, dan yang lain (bi-ismi rabbik al-lazii khalaq/ pengenalan pada Tuhan) mengarah pada terbentuknya keyakinan akan wujud dan kekuasaan Tuhan sebagai pengatur alam. Turunnya wahyu pertama ini kemudian diikuti dengan turunnya wahyu-wahyu yang lain secara bertahap selama 23 tahun lebih. The sun just rise on the Mecca, dunia telah menemukan sinar yang membawanya menuju peradaban baru.
Bertolak dari realitas historik itu maka tidak salah jika dikatakan Al-Quran adalah Kitab informasi (an-Naba`), dan sistim informasi yang di bangun oleh al-Quran adalah berdasar fakta dan keyakinan. Fakta diperlukan untuk menggali informasi lebih jauh dan mendalam, keyakinan berfungsi untuk mendasari kebenaran; dua hal itu menjadi ciri utama kebenaran dalam sistim informatika yang dikembangkan pada abad modern ini. Kita sering mendengar istilah informasi menyesatkan, istilah itu digunakan untuk menyebut adanya informasi yang salah dan tidak bertanggungjawab, dalam istilah komunikasi disebut rumors.
Kisah tentang ‘perselingkuhan’ Aisyah dan Shafwan bin Muatthal yang dihembuskan orang-orang Yahudi Madinah yang terkenal dengan hadits al-ifki (an-Nuur: 11-12) adalah salah satu contoh informasi tidak bertanggungjawab atau tepatnya disebut rumor yang bertujuan mengacaukan stabilitas sosial-politik di kota itu. Sebaliknya informasi yang disampaikan Hud-hud tentang imperium Saba` dengan Bulqis sebagai penguasanya (an-Naml: 22-24) menunjukkan kebenaran informasi itu secara empirik. Kedua contoh tersebut menunjukkan dua karakter yang berbeda dan menjadi ciri-ciri informasi yang berkembang dewasa ini; yang satu konstruktif dan yang lain destruktif. Kedua jenis informasi ini akan selalu muncul seiring dengan silang kepentingan antar individu, antar kelompok atau bahkan antar bangsa. Pengembangan informasi memerlukan etika untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya manipulasi data atau distorsi pesan-pesan yang di bawa.
*****
Sedikitnya terdapat tiga tema pokok yang menjadi bahasan penting di dalam sistim informasi al-Quran, yaitu; pertama, masalah akidah atau keimanan; kedua, masalah hukum; ketiga, masalah ilmu dan pengetahuan. Masing-masing tema pokok ini memiliki cabang permasalahan yang dapat dikembangkan dengan berbagai disiplin keilmuan. Dari ketiga tema pokok informasi ini di antaranya ada yang baku serta tidak dapat dikembangkan dan ada pula yang dapat dikembangkan mengikuti kebutuhan perilaku jaman. Masalah akidah adalah satu-satunya masalah baku yang tidak memerlukan campurtangan manusia sehingga tidak dapat dirubah atau dikembangkan.
Pengertian ayat; Allahu laa ilaaha illa huwa al-hayyu al-qayyuum (al-Baqarah: 255) adalah bermakna definitif yang tidak dapat diberi arti lain di luar sifat Allah yang Maha Hidup dan Berdiri sendiri. Kedua jenis informasi ini tidak dapat dikembangkan sehingga keluar dari frame yang telah ditentukan secara qath’i. Berbeda dengan ayat; innamaa harrama álaikum al-maitah wa al-daam wa lahm al-hinziir.. (al-Baqarah: 173), sekalipun ayat ini bermakna definitif yang memberi informasi penetapan akan keharaman beberapa jenis objek itu, tetapi penetapan hukumnya masih dapat diperluas menyangkut jenis-jenis objek lain yang tidak patut dikonsumsi manusia.
Begitu pun dengan ayat-ayat yang berisi dorongan dan rangsangan pada manusia untuk berfikir jauh, semisal; inna fii khalqi al-samaawaat wa al-ard wa-khtilaaf al-laili wa al-nahaar la-aayaatin li-uli al-baab (Ali Imran: 190). Ayat ini selain mengandung pengertian informatif, dapat dijadikan titik tolak untuk mengembangkan fungsi penalaran terhadap resources alam dengan segala jaringan yang ada di dalamnya. Dari penalaran itu akan menghasilkan rekayasa teknologi yang dapat dikembang-biakkan terus menerus sesuai perjalanan waktu dan jamannya. Tepat sekali kata Muhammad Iqbal, Al-Quran adalah Kitab yang mengutamakan amal dari pada cita-cita, karena itu menurut al-Gazali, mentafakuri al-Quran, akan membawa kita menuju samudera af’al yang tidak bertepi.
*****
Saat ini sistim informasi telah menjadi penentu yang dominan terhadap kekuatan sebuah bangsa, semakin luas jaringan informasi yang dibangun, maka semakin luas pula hegemoni yang dikuasai. Jepang adalah salah satu contoh negara yang mengandalkan jaringan informasi, yang tingkat kemajuan setara dengan negara-negara barat. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II membuat struktur dan fasilitas industri negara ini hancur. Tetapi dalam kurun waktu sepuluh tahun Jepang telah berhasil bangkit dan bahkan lebih modern. Pada kurun waktu 1955 – 1964 Jepang mengalami lompatan ekonomi yang menakjubkan, sehingga intensitas penetrasi pasar bergerak dramatis menekan ke berbagai negara.
Salah satu faktor penting yang mempercapat gerakan pasar industri Jepang adalah munculnya kebijakan pemerintah yang menggerakkan sektor swasta yang berfungsi sebagai information clearing hous (bursa informasi). Kebijakan ini bertujuan untuk mensuplai berbagai data kepada para pebisnis particular (swasta), sehingga dapat menghapus tingkat ketergantungannya pada pemerintah. Hasilnya, kelompok bisnis partikular berdiri setingkat dengan pemerintah dan menjadi mitra yang baik.
Hal yang sama terjadi pada Jerman (Barat, saat itu). Kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II yang berakhir dengan pembelahan negara ini menjadi Barat dan Timur (sebelum reunifikasi pada tahun 90-an), dalam kurun relatif singkat membangitkan negara ini menjadi raksasa ekonomi dunia. Kemampuan Jerman mengolah data-data irformasi dunia, menghasilkan produk-produk teknologi berat dari negara Kanselir ini membanjiri pasar dunia. Penemuan teknologi Siemen dengan produk telpon selulernya tahun 80-an adalah salah satu puncak teknologi Jerman yang menguasai pasar komunikasi global, setelah negara ini menyebar informasi spektakuler melalui berbagai iklan di media massa yang belum pernah muncul sebelumnya.
*****
Begitulah keajaiban yang dibangun memalui jaringan informasi. Tidak ada sesuatu apa pun produk yang di hasilkan manusia dikenal luas, tanpa didahului oleh pembentukan informasi. Pengenalan manusia pada Tuhan, dimulai dengan turunnya wahyu (iformasi) bahwa di balik alam terdapat penggerak dan penguasa tunggal yang menjadi tumpuan hidup mereka. Ini berarti Tuhan pun memperkenalkan keberadaannya sebagai Dzat yang wajib diimani.
Dari sini kita memperoleh gembaran teoretik yang riil betapa pentingnya arti informasi bagi umat Islam. Membangun informasi berarti membangun relasi publik secara luas dan lintas antar negara dan bangsa, dan untuk mencapai tujuan ini diperlukan kemampuan mengolah data berikut segala perangkat lunak (software) yang diperlukan. Pasar hanya akan tertarik untuk membeli sebuah produk informasi (akses) jika produk yang ditawarkan memiliki daya tarik untuk di ikuti.
READ MORE - AL QUR'AN DAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI

Rabu, 10 Agustus 2011

Apresiasi buat Guru Swasta


Apa jadinya dunia pendidikan Indonesia jika tidak banyak orang yang bersedia menjadi guru swasta atau guru honorer (non-PNS)? Inilah pertanyaan penting yang harus didiskusikan. Pertanyaan itu bisa dilanjutkan: misalnya, apa jadinya dunia pendidikan kita jika tidak ada sekolah swasta (termasuk pesantren)? Mengapa banyak orang sudi mendirikan sekolah atau jadi guru swasta?<span class=”fullpost”>
Pertanyaan pertama dan kedua bisa dijawab dengan satu kata: runyam. Pasalnya, dunia pendidikan kita akan sangat sulit mengangkat sebagian besar anak bangsa dari kebodohan jika tidak didukung banyak guru swasta dan sekolah swasta.
Layak diungkapkan, dengan anggaran pendidikan yang minim, negara kita bisa dikatakan mustahil mampu memberikan pendidikan yang memadai bagi anak-anak bangsa. Untungnya, banyak orang bersedia menjadi guru swasta maupun mendirikan sekolah swasta untuk membantu negara dalam mendidik anak- anak bangsa.
Oleh karena itu, negara layak memberikan apresiasi kepada guru swasta dan pengelola sekolah swasta. Hal ini harus diimplementasikan dengan dua langkah. Pertama, memberikan status PNS kepada mereka. Kedua, memberikan subsidi kolektif agar tercipta keadilan dalam dunia pendidikan yang notabene sebagai dapur untuk menggodok generasi baru yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara.
Yang dimaksudkan dengan kebijakan subsidi kolektif adalah bantuan pemerintah melalui sejumlah departemen untuk meringankan guru-guru swasta dan sekolah-sekolah swasta berkaitan dengan beban dan tugasnya mendidik anak-anak bangsa. Misalnya, buku pelajaran dan buku bacaan berbagai cabang ilmu (ekonomi, perdagangan, pariwisata dan budaya, sosial, dan lain sebagainya) diterbitkan oleh departemen masing-masing kemudian dibagikan secara gratis kepada guru-guru swasta dan kepada sekolah-sekolah swasta untuk membangun perpustakaan di sekolah masing-masing.
Perlu diingat, salah satu kebutuhan setiap guru adalah buku- buku untuk mengajar di depan kelas. Jika tidak mendapat bantuan dari mana pun, maka guru- guru swasta akan terpaksa membelinya sendiri. Padahal, gaji mereka umumnya sangat kecil, bahkan ada gaji guru swasta yang lebih layak disebut uang transpor saja.
Jika semua departemen memberikan subsidi dalam bentuk buku bagi guru-guru swasta dan bagi sekolah-sekolah swasta, mutu sekolah swasta kita tentu akan lebih baik lagi dan mampu bersaing dengan sekolah negeri. Bahkan, bukan tidak mungkin akan muncul banyak sekolah swasta yang lebih bermutu dibandingkan dengan sekolah negeri.
Apresiasi kepada guru-guru swasta juga layak diimplementasikan dalam bentuk bantuan uang atau materi oleh kalangan pengusaha besar dan menengah di seluruh Tanah Air. Misalnya, masing-masing pengusaha secara rutin memberikan santunan kepada guru-guru swasta di daerah masing-masing. Dengan mendapatkan santunan rutin dari kaum pengusaha, guru-guru swasta akan lebih bersemangat dalam mendidik murid-muridnya, berapa pun nilai santunan yang didapatkannya. Sebab, santunan dalam bentuk uang atau materi tak bisa dinilai sebatas angka- angka karena berkaitan dengan niat baik dan sikap apresiatif terhadap dunia pendidikan.
Kalangan perbankan juga selayaknya memberikan apresiasi kepada guru-guru swasta dalam bentuk pemberian kredit lunak untuk kepemilikan rumah maupun kendaraan. Bahkan, sangat mungkin bank-bank besar mampu memberikan kredit dengan bunga nol persen kepada kalangan guru swasta sebagai bukti kepedulian dunia perbankan terhadap dunia pendidikan kita.
Ibadah
Mengapa orang mau mendirikan sekolah atau menjadi guru swasta? Untuk menjawab pertanyaan di atas, bisa cukup dengan dua kata saja: sebagai ibadah. Dalam hal ini, banyak orang sudi menjadi guru swasta karena pekerjaan mengajar dianggap sebagai ibadah.
Memang, bagi guru-guru swasta pekerjaan mengajar bukan semata-mata bertujuan untuk mendapatkan gaji, melainkan juga untuk mendapatkan pahala. Ini jelas terkait dengan keimanan masing-masing karena semua agama sama-sama mengajarkan umatnya agar bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri, bagi anak- anaknya sendiri, dan umumnya bagi generasi berikutnya. Meskipun mereka menyadari risikonya, yakni tidak bisa kaya raya.
Semangat beribadah guru-guru swasta yang diimplementasikan dengan menekuni profesi sebagai pengajar akan berlipat ganda jika banyak pihak bersedia berterima kasih kepada mereka dengan memandang sekolah swasta bukan sebagai lembaga pendidikan sekunder.
Memandang sekolah swasta sama dengan sekolah negeri karena guru-guru swasta sudah mendapatkan bantuan dari banyak pihak akan menghapus kesenjangan antara sekolah swasta dan sekolah negeri. Sudah terbukti semakin banyak sekolah swasta yang mutunya lebih baik dibandingkan dengan sekolah negeri.
READ MORE - Apresiasi buat Guru Swasta

Pendidikan Terjajah Bahasa Inggris



PENDIDIKAN kita ’’terjajah’’ Bahasa Inggris, demikian gerutu beberapa orang tua murid terkait dengan biaya sekolah anak-anaknya yang makin mahal. Dengan memasang label rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) ataupun sekolah bertaraf internasional (SBI) secara terang-terangan atau tersamar kini makin banyak sekolah yang mengharuskan muridnya untuk mampu berbahasa Inggris.

Mahalnya biaya sekolah hanya karena ingin muridnya mampu berbahasa Inggris adalah sesuatu hal yang sulit dimengerti oleh rakyat. Pasalnya, proses belajar mengajar Bahasa Inggris di sekolah relatif murah. Artinya, sekolah cukup hanya menyediakan buku untuk guru dan murid.

Jika guru Bahasa Inggris memang betul-betul mahir berbahasa Inggris dan mampu mengajarkannya dengan baik, sedangkan murid-muridnya serius belajar, pasti akan mampu berbahasa Inggris.

Dengan kata lain, proses belajar mengajar Bahasa Inggris tidak memerlukan infrastruktur yang mahal dan karenanya sangat aneh jika biaya sekolah menjadi sangat mahal. Dalam hal ini, laboratorium Bahasa Inggris, kalau memang dianggap penting, bukan termasuk infrastruktur yang mahal dan bisa dibangun dengan anggaran pendidikan yang disediakan negara.



Rakyat makin tahu bahwa mahalnya biaya sekolah terkait dengan urusan belajar mengajar Bahasa Inggris hanya gara-gara label negeri dan label internasional. Artinya, setelah pemerintah berhasil memopulerkan status sekolah dengan label ’’terdaftar’’ dan ’’diakui’’, dilanjutkan dengan kebijakan mengistimewakan sekolah-sekolah berstatus negeri, lantas mencoba memopulerkan sekolah negeri bertaraf internasional.

Terkait proses belajar mengajar Bahasa Inggris, sejumlah sekolah swasta nyata-nyata lebih baik ketimbang sekolah negeri. Satu contoh saja, betapa Pondok Pesantren Gontor (swasta) ternyata mampu mendidik muridnya mahir berbahasa Inggris (dan juga Bahasa Arab) tanpa biaya mahal.

Mahalnya biaya sekolah terkait proses belajar mengajar Bahasa Inggris sangat aneh dan sulit dimengerti. Namun, lepas dari urusan biaya, proses belajar mengajar Bahasa Inggris di banyak sekolah perlu dibenahi agar Bahasa Inggris tidak terkesan menjajah (yang berarti juga menindas) rakyat.

Dalam upaya pembenahan proses belajar mengajar Bahasa Inggris, yang harus dicermati adalah kualitas buku dan lembar kerja siswa (LKS). Jika buku dan LKS yang ada kurang baik, seharusnya segera diperbaiki. Layak diduga, buku dan LKS yang ada kurang baik, dan buktinya mayoritas lulusan SMA belum mampu berbahasa Inggris.
Guru Berkualitas Untuk mencermati kualitas buku dan LKS, pemerintah sebaiknya meneliti buku dan LKS di SMA, apakah ada yang sama isinya dengan yang digunakan di SMP? Jika pemerintah betul-betul cermat, mungkin menemukan banyak kejanggalan. Misalnya, ada LKS untuk SMP yang isinya sama dengan isi buku untuk SD. Atau ada LKS untuk SMA isinya sama dengan isi buku untuk SMP.

Selain buku dan LKS, peran guru sangat penting. Dalam hal ini, pemerintah selayaknya terus meningkatkan kualitas guru Bahasa Inggris agar mampu mengajar lebih baik lagi.

Kalau memang pemerintah menghendaki anak-anak Indonesia mampu berbahasa Inggris, seharusnya segera menyediakan guru yang betul-betul mampu mengajar dengan baik. Terlalu gegabah jika pemerintah membiarkan guru-guru kurang cakap mengajar yang membuat lulusannya tidak akan mampu berbahasa Inggris dengan baik.

Untuk konteks global, tidak ada salahnya pemerintah mencoba merekrut guru-guru Bahasa Inggris dari luar negeri. Dalam hal ini, kehadiran guru-guru dari luar negeri akan membuka persaingan yang sehat. Artinya, guru-guru kita akan bersemangat belajar lagi jika merasa belum cakap berbahasa Inggris .

Layak disayangkan, jika mahalnya biaya sekolah terkait dengan Bahasa Inggris ternyata hanya sebatas upaya menaikkan citra atau gengsi status sekolah negeri. Terlalu kasihan jika rakyat di negeri ini menderita di ranah pendidikan setelah menderita di banyak bidang lain. Kini, rakyat makin menderita karena pemerintah ’’menjajah’’ dengan mata pelajaran Bahasa Inggris yang dibungkus dengan pencitraan sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional.
READ MORE - Pendidikan Terjajah Bahasa Inggris

Fenomena Kolonialisme Pemda

Pada zaman merdeka dan damai seperti sekarang, menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia lebih nyaman dibanding menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja sebab menjadi anggota TNI nyaris mustahil berhadapan dengan rakyat sendiri.
Sebaliknya, menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sangat mungkin sering berhadapan dengan rakyat. ”Berhadapan” berarti berperang atau saling membantai. Artinya, setiap anggota Satpol PP sewaktu-waktu harus bersedia mengalami cedera atau bahkan tewas ketika menjalankan tugasnya.
Begitulah. Dua paragraf di atas dikutip dari perbincangan rakyat di warung kopi sambil menyaksikan tayangan berita kerusuhan di Koja, Tanjung Priok, Rabu (14/4) hingga dini hari kemarin, yang menelan banyak korban.
Seperti penjajah
Tragedi demi tragedi maut seperti kerusuhan di Tanjung Priok sangat mungkin akan sering terjadi di banyak daerah karena banyak pemerintah daerah (pemda) pada zaman merdeka ini justru sering tampil seperti penjajah.
Dengan berpijak pada regulasi yang dibuat sendiri, pemda bisa semena-mena merampas tanah milik rakyat untuk kepentingan pembangunan. Disebut merampas karena cara-cara pembebasan tanah sering berlangsung kejam terhadap rakyat.
Dengan kata lain, penjajahan demi penjajahan yang dilakukan pemda terhadap rakyatnya sendiri pada era reformasi ini sering berlangsung masif dan didukung regulasi sehingga Satpol PP sebagai kaki tangan pemda seolah-olah hanya punya tugas untuk menghadapi rakyat yang berani melawan kebijakan pemda.
Di mata rakyat, Satpol PP dianggap sama dengan serdadu penjajah yang menakutkan, dan jika terpaksa rakyat akan melawan mati-matian. Semua rakyat di daerah bisa saja tiba-tiba dipaksa bersatu melawan Satpol PP yang brutal dalam menjalankan tugasnya.
Citra Satpol PP yang identik dengan serdadu penjajah di mata rakyat selayaknya segera disadari oleh semua penguasa daerah agar tragedi maut, seperti kerusuhan di Tanjung Priok, tidak terulang lagi.
Dengan kesadaran tersebut, penguasa di daerah mungkin bisa lebih cermat menghitung setiap risiko atas kebijakannya yang mungkin saja terbilang korup.
Setiap kebijakan pemda yang mengandung konflik kepentingan dan berisiko menimbulkan tragedi maut harus dianggap korup, dan jika kebijakan korup dipaksakan secara semena-mena, risikonya pasti akan membenturkan Satpol PP dengan rakyat.
Dalam skala mikro, pemda sering mengeluarkan kebijakan korup dengan bentuk penggusuran paksa terhadap permukiman warga yang dianggap liar.
Jika jumlah warga yang digusur hanya sedikit, penggusuran berlangsung lancar. Sebaliknya, jika jumlah warga yang digusur cukup banyak, mereka pasti akan melawan mati-matian. Pada titik ini, Satpol PP sering dipaksa untuk berhadapan dengan rakyat.
Padahal, jika pemda memang mengharapkan semua warga untuk taat terhadap aturan, seharusnya langsung menertibkan setiap bentuk pelanggaran. Misalnya, jika ada rakyat yang membangun permukiman liar di tempat milik pemda atau milik pihak lain segera dilakukan tindakan proporsional tanpa menunggu permukiman liar berkembang luas dengan banyak penghuni.
Dengan demikian, kebijakan pemda berupa penindakan-penindakan yang terlambat dan berisiko menelan banyak korban harus dianggap sebagai kebijakan korup. Dalam hal ini, semua pihak yang terlibat layak dihukum seadil-adilnya.
Kepentingan rakyat
Pada era otonomi seperti sekarang, pemda sering mengabaikan kepentingan rakyat terkait dengan pembangunan daerah. Padahal, setiap kampanye pemilihan kepala daerah, semua kandidat berjanji akan mengutamakan kepentingan rakyat.
Dalam praktiknya, jika pemda peduli kepentingan rakyat, sering memosisikan rakyat sebagai obyek atau konsumen. Misalnya, jika ingin membantu rakyat memperoleh tempat tinggal layak, pemda membangun rumah susun lalu dijual kepada rakyat dengan harga tinggi. Akibatnya, rumah susun yang seharusnya untuk rakyat miskin justru banyak dihuni oleh mereka yang tergolong tidak miskin.
Selain itu, pemda sering tidak bisa melihat kepentingan rakyat secara proporsional sehingga mengeluarkan kebijakan yang salah dan riskan. Misalnya, kepentingan rakyat yang bernilai sosial dianggap remeh oleh pemda. Atau, pemda membandingkan kepentingan sosial dengan kepentingan ekonomi, tetapi hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi.
Konkretnya, jika kepentingan ekonomi dianggap lebih menguntungkan, kepentingan sosial yang notabene kepentingan rakyat akan dikalahkan. Pada titik ini, pemda sering bertindak seperti penjajah sehingga rakyat sering terpaksa melawan mati-matian.
Kapan fenomena kolonialisme pemda demikian akan berubah? (Sumber: Kompas, 16 April 2010)
READ MORE - Fenomena Kolonialisme Pemda