Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasionalisme adalah 1) faham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; 2) kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Definisi ini sungguh amat mulia, karena membawa pengertian nasionalisme pada tataran pengabdian untuk menjunjung tinggi kebesaran harga diri bangsa.

Hal yang sama menjadi ajaran pemerintahan orde baru, ketika Soeharto dengan semangat jiwa Pancasilanya menekankan kepada segenap rakyat untuk mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Kedua orde itu lalu ditumbangkan dengan penuh kebencian dan caci maki. Masing-masing pemimpin besar itu dianggap menghianati amanat rakyat karena telah melanggar konstitusi serta merusak sendi-sendiri bangsa dan negara. Nasionalisme tidak akan mencederai kecintaan terhadap negara dan bangsa.
Hilangnya Rasa Nasionalisme
Secara leksikal, cinta (love) adalah sebuah perasaan kuat yang timbul dari kasih sayang mendalam kepada seseorang, benda atau negara. Orang yang mencintai sesuatu maka akan (rela) menjadi budaknya, persis seperti adagium Arab, ia siap berkorban untuk mempertahankan cintanya dengan segala resiko dan konsekuensi. Para pejuang kita rela menyerahkan selembar jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia tanpa pamprih apa pun.
Para pendidik kita di pedalaman rela hidup bersusah payah untuk membagi pengetahuannya dengan anak-anak bangsa yang terbelakang dengan honor yang kecil. Para tentara kita di wilayah-wilayah perbatasan, selalu siap menyerahkan jiwa untuk mempertahankan setiap jengkal kedaulatan negara dari segala bentuk infiltrasi dan ancaman asing. Ungkapan cinta dapat diimplementasikan dalam berbagai cara menurut kapasitas dan kemampuan potensi yang dimiliki masing-asing orang (rakyat), sebagaimana terlihat dalam momen Agustusan. Semua dilakukan karena cinta pada negara dan bangsa.
Sekarang, setelah sepuluh tahun reformasi berjalan, rasa cinta terhadap bangsa dan negara mengalami pengelupasan yang mencederai rasa keadilan. Pengakuan cinta terhadap bangsa dan negara yang menuntut pembuktian riil melalui tindakan dan perbuatan, telah terkikis oleh keserakahan egoistik dari berbagai lapisan kelompok elit tertentu.
Jika terorisme dengan segala aksinya dicap sebagai musuh negara yang mendelegitimasi hak-hak pelakunya sebagai warga negara, hal itu tidak berlaku bagi korutor. Sekalipun kejahatan korupsi terbilang kejahatan yang membahayakan negara.
Koruptor di negeri ini jauh lebih enak perlakuannya di depan hukum, sekalipun jiwa nasionalismenya identik dengan teroris. Kita patut geram dengan pemandangan yang tidak adil itu. Betapa tidak? Sering kita lihat para koruptor divonis ringan (atau bahkan bebas) jauh melampaui nilai kejahatannya, dibanding dengan pencuri pisang, cokelat dan atau pemungut ranting-ranting di kawasan hutan (negara) yang dipenjarakan karena alasan pelanggaran.
Penjara bagi koruptor tidak bedanya seperti tempat persinggahan sementara yang tidak perlu ditakutkan. Karenanya putusan pengadilan yang menyeret mereka ke dalam penjara, tidak membawa efek jera bagi calon karuptor yang lain. Sebab hak remisi menjadi jaminan yang telah menunggu mereka. Bahkan, kebebasan bisa mereka diperoleh jika telah menjalani hukuman selama 2/3 dari masa yang telah ditentukan.
Selama ini kita melihat tidak ada kesamaan pandang antara penegak hukum dan kehendak rakyat dalam mensikapi koruptor. Bagi rakyat, koruptor adalah musuh negara dan bangsa yang tidak layak diperlakukan sebagai warga negara yang memiliki hak-hak dalam bernegara sebagaimana warga negara lainnya. Sebab koruptor telah gagal membawa amanat dalam menjalankan kewarganegaraannya secara benar dan sekaligus kehilangan rasa nasionalisme.
Tindakan korup yang dilakukan koruptor bukan saja mencederai cintanya terhadap negara, tetapi juga menggerogoti kewibawaan negara dan meruntuhkan sendi-sendi bangsa. Di sini para penegak hukum tidak memiliki ketegasan sikap dalam memandang posisi koruptor. Sehingga keputusan-keputusan hukum yang di ambil sering mencederai rasa keadilan rakyat dan rasa nasionalisme.
Berapa besar jumlah anak bangsa ini yang menjadi korban keserakahan koruptor; mereka putus sekolah, banyak sekolahan yang bobrok dan runtuh, jalan-jalan berlubang, ekonomi timpang, rakyat kelaparan, pembangunan tidak merata dan seterusnya. Negara dan bangsa dikorbankan untuk ambisi pribadi. Dalam diri koruptor, rasa nasionalisme tidak lagi ditemukan kecuali nasionalisme yang absurd.
Penghianat Pancasila
Adalah sangat ironi dalam tatanan hukum negara yang berasas Pancasila dikatakan, bahwa koruptor masih memiliki jiwa Pancasila. Sebab dari segala aspek yang terkait dengan butir-butir pancasila, tidak satu pun tindakan yang dilakukan koruptor sesuai dengan ajaran Pancasila. Dari aspek ke-Tuhanan, tidak ada ajaran Tuhan yang membenarkan korupsi. Di tinjau dari asas kemanusiaan yang adil dan beradab, korupsi sangat bertentangan dengan asas ini, arena korupsi tidak mengenal sisi kemanusiaan yang berperadaban. Dari asar persatuan, keruptor cenderung mencabik-cabik kebersamaan dan memunculkan saling curiga.
Saat ini persatuan anak bangsa sedang dipertaruhkan dalam menghadapi kekuatan korup, karena para koruptor kelas kakap sewaktu-waktu dapat menggunakan seluruh potensinya dari segala arah. Hukum diacak-acak dan dibenturkan, sementara masyarakat dibelah secara vis a vis antara pendukung dan penentangnya. Begitu pun keadilan sosial yang seharusnya merata untuk kepentingan rakyat, tersumbat oleh perilaku koruptif yang mereka lakukan. Tepat sekali, korupsi adalah menghianati Pancasila.
Dari berbagai tinjauan ini, maka sangat tidak tepat jika kejahatan korupsi sanksi hukumnya sama dengan penjahat-penjahat lain yang bukan masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (ordinary crime), semisal kejahatan yang dilakukan antar personal. China adalah salah satu contoh negara yang patut ditiru model pendekatannya dalam menangani kejahatan ini, yakni hukuman mati. Sebab yang menjadi taruhan bukan hanya rakyat tetapi negara dan bangsa.
Bandingkan dengan hukum agama (Islam). Dalam perspektif agama kedudukan koruptor dipandang seperti pengacau (disturber of the peace), sanksi hukumnya adalah (minial) diisolasi dan (maksimal) hukuman mati. Menghadapi koruptor tidak perlu menggunakan hati, sebab koruptor adalah pembunuh berdarah dingin yang setiap aksinya dilakukan secara sistemik tanpa memandang akibat. Kini saatnya seluruh elemen masyarakat yang berjiwa nasionalis murni, bertindak mengembalikan kewibawaan negara dan bangsa dengan mengganyang koruptor di segala sektor.