Jumat, 15 Maret 2013

OBSESI DAN TAKDIR

Kemauan keras (himmah Sawabiq) termasuk suatu kekuatan yang dimiliki manusia atas izin Allah untuk memperoleh sesuatu yang dicari dalam kehidupan duniawi. Kemauan keras ini adalah pendorong untuk memperoleh suatu cita-cita. Namun demikian semangat dan cita-cita hamba Allah, tetap berkaitan erat dengan iradah dan izin Allah (takdir Allah Swt).
Himmah (obsesi) yang tinggi sekalipun, tidak akan mampu mengoyak takdir (kehendak) Allah.
Pada akhirnya segala kekuatan yang dimiliki manusia itu terbatas dan akan tertambat pada kehendak dan takdir Allah Swt. Karena cita- cita yang keras dan bersemangat tidak mampu menerobos takdir Allah
Akan tetapi dalam banyak hal, ketika seorang merasakan adanya kemauan dalam dirinya untuk mendapatkan apa yang ia cita-citakan, maka kemauan keras itu hendaklah tersalurkan bersama gerakan iman yang memenuhi seluruh kalbunya. Karena iman inilah yang akan mengatur himmah yang dimiliki oleh seseorang. Apakah ia tunduk kepada takdir Allah ketika ia telah melaksanakan panggilan himmah- Nya ataukah ia menolak. Apabila ia menerima qada dan qadar Allah,
Setelah si hamba berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat, maka itulah iman yang sesungguhnya. Menerima qada dan qadar Allah membuat orang beriman menjadi tenang. Ia tidak berputus asa dan tidak menyesali dirinya, la pun tidak berprasangka buruk kepada Allah dan kepada manusia. Kehendak Allah itulah yang akan berlaku dalam perjalanan hidup manusia. Kemauan dan cita-cita yang bergelora, tidak mampu menghancurkan qada dan qadar Allah Swt.
Manusia berada di antara ikhtiar dengan qada dan qadar Allah. Berlomba mengejar takdir dengan ikhtiar dan doa. Hanya Allah yang Maha Mengetahui nasib manusia dan menentukan hasilnya. Apa yang diperoleh manusia setelah ikhtiar dan berdoa itulah taqdir yang sebenarnya.
Takdir Allah adalah masalah gaib. Hanya Allah Swt yang mengetahui. Dalam hal ini Allah Swt berfirman: "Dan disisinyalah alam gaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia (Allah) sendiri." (QS. Al An'am: 59)
Semua peristiwa hidup ini berjalan di atas rencana dan program Allah. Tidak akan terjadi apa pun di bumi, semuanya adalah atas kehendak Allah belaka. Al-Qur'an mengatakan lagi bahwa tidak akan terjadi segala sesuatu, kecuali sesuai dengan kehendak Allah.
Takdir adalah ketentuan akhir dari Allah untuk manusia. Apabila Allah telah menetapkan taqdir itu, tak seorangpun yang mampu menolak, ataupun menundanya. (QS. Fatir: 21)
Manusia tidak mengandalkan angan-angannya untuk menjangkau kehendak dan cita-citanya. Sebab setelah ikhtiar manusia akan dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Itulah taqdir Allah. Kemuliaan ibadah seorang hamba adalah pada keadaan akhir, ketika ia dengan ikhlas menerima ketentuan'Allah Swt Demikian juga halnya tentang rezeki yang telah ditentukan pembagiannya oleh Allah Swt.
Sayyid Hasan Asy-Syadzili dalam Kitab "At Tanwir fi isqati Tadbir" menulis, "Sesuatu yang telah dijamin oleh Allah atas rezeki hamba-hamba-Nya  tak seorang pun mampu mencegahnya. Seperti telah dijelaskan oleh Syekh Ahmad Ataillah, bahwasanya seorang hamba hendaklah tekun kepada apa yang telah dijaminkan Allah kepadanya dan mampu menjadikannya sebagai ibadah. Sedangkan orang yang tidak istiqamah adalah orang lalai terhadap apa yang telah dijaminkan oleh Allah untuknya.
"Kamu tidak dapat berbuat menurut kehendakmu, kecuali telah dikehendaki oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Insan: 30)
Nabi Muhammad Saw mengingatkan: "Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu dihimpun pembentukannya dalam rahim ibunya empatpuluh hari berupa nutfah (mani), kemudian berubah menjadi segumpal darah selama waktu itu juga, kemudian Allah mengutus Malaikat kepadanya. Malaikat itu meniupkan ruh kepadanya, lalu ditetapkan pada dirinya empat kalimat. (1). Ditetapkan rezekinya. (2). Ditetapkan ajalnya. (3). Ditetapkan pekerjaannya dan ke (4). Ditetapkan nasib bahagia atau susah." (HR. Bukhari)
Di atas empat perkara tersebut Allah telah menciptakan rahmat sebagai anugerah baginya atas semesta alam, terbagi untuk semua makhluk. Rahmat dan kasih sayang Allah itu tidak pandang siapa dan apa pun melihat beraneka ragam pemberian dan karunia. Rahmat Allah itu tidak terbatas, berjalan sepanjang hidup manusia dan selama berkembangnya dunia ini.
Allah berfirman: "Tiada satu makhluk melata pun dimuka bumi ini, kecuali telah disediakan Allah rezeki untuknya." (QS. Hud: 6)
READ MORE - OBSESI DAN TAKDIR

DALAM NASFU IBADAH

Apabila anda berkeinginan untuk beribadah kepada Allah semata, padahal Allah telah menempatkan dirimu sebagai golongan orang yang harus berusaha untuk meraih kehidupan dunia, maka keinginan seperti termasuk syahwat yang halus. Sedangkan keinginanmu untuk berusaha, padahal Allah  telah menempatkan dirimu di antara golongan yang rajin beribadah, maka mengikuti keinginanmu itu, menunjukkan bahwa anda  telah turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi.
Menurut syaikh Athaillah, ungkapan tajrid di atas berarti meninggalkan sebab yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang sadiqin, yakni dengan melaksanakan suatu sebab tidak mrmbiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena berniat meninggalkan urusan duniawi, sebab semata-mata hendak beribadah.
Watak yang dimiliki oleh orang sadiqin, ialah tidak meninggalkan dunia karena akhirat, dan tidak meninggalkan akhirat sebab dunia. Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat seperti yang dikehendaki oleh Islam, adalah suatu keharusan yang patut diusahakan dan ditunjang dengan perilaku akhlak Islami yang akan menunjang semua hal yang menyangkut urusan duniawi dan ukhrawi.
Menempatkan kedua masalah tersebut di atas adalah suatu jalan yang benar bagi orang sadiqin yang memandang kehidupan dunia dan akhirat dalam semua perilaku manusia, saling menunjang dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya.
Kedudukan manusia dalam tajrid, karena kehendak mentaati Allah Swt, lalu menanggalkan usaha (kasab), padahal ia masih memerlukan kasab itu sebagai keperluan yang wajar secara duniawi, maka kehendak tajrid seperti ini termasuk syahwat badani yang tidak pada tempatnya. Oleh karena ia membutuhkan seperti pada umumnya manusia berhubungan dalam hidup melalui tolong menolong yang berkaitan dengan sesama manusia.
Syahwat badani seperti ini memang syahwat yang halus, karena bukan perbuatan yang tidak dibolehkan, akan tetapi tidak pada tempatnya, apalagi kalau tajrid seperti itu adalah suatu keinginan agar dianggap sebagai manusia zuhud (orang yang tidak berkehendak kepada dunia, semata-mata karena Allah). Kehendak seperti ini bertentangan dengan kehendak Allah sendiri, karena akan menjerumuskannya kepada syirik yang halus pula.
Sebaliknya, orang yang telah mendapatkan keputusan Allah untuk beribadah saja (dalam maqam tajrid saja) berarti ia sudah tidak mempunyai tugas duniawi yang melibatkan dirinya pada ikhtiar duniawi, hanyalah semata-mata beribadah, karena Allah telah memilih ia untuk hal itu. Orang seperti ini bukanlah karena ia tidak memerlukan lagi kehidupan dunia, untuk keperluannya yang primer, akan tetapi Allah telah menjamin kehidupan dunianya dengan rezeki yang tak dapat diduga-duga. Dalam urusan duniawi ia tidak terlalu mengharapkan mendapatkannya, karena ia telah siap menerima anugerah Allah dengan jalan beribadah kepada-Nya semata.
Inilah orang yang sadiqin di atas jalannya. Ia tidak tamak menghadapi hidup melewati jalan tajrid, karena menempatkan duniawi sebagai hal yang tidak mengikatnya sebagai belenggu yang merusak ibadahnya kepada Allah. Dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah, ada dua hal yang perlu diingat, lalu menempatkan diri secara teguh (istiqamah) pada tempat yang dipilih si hamba untuk perjuangan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Kedudukan dua hal ini tidak berbeda. Karena niat yang tersembul dari perbuatan seperti itu sama kedudukannya, yakni untuk beribadah. Masalahnya sekarang adalah  bagaimana seseorang menekuni perilaku ibadahnya. Di satu pihak keinginan tajrid lebih kuat dan lebih dominan, di pihak lain keinginan duniawi lebih condong mengikuti  semua perbuatan sebagai ibadah juga.
Untuk menghilangkan  keraguan (was-was) dalam diri hamba yang sadiqin, maka harus menekuni dua perilaku tersebut, sehingga masing-masing mampu memberi  nilai lebih dan menjadikannya sebagai ibadah yang bermanfaat dunia dan akhirat.
Meskipun demikia, perlu dipahami bahwasanya maqam tajrid yang telah dipilih seorang hamba yang sadiqin adalam maqam yang mulia, karena tidak semua orang mampu berada pada maqam tersebut. Maqam tajrid ini adalah pilihan Allah atas hamba-Nya dalam hubungannya dengan peribadatan yang khusus.
Adapun ciri-ciri hamba yang sadiqin dan tajrid, diantaranya:
  1. Mendekatkan diri kepada Allah Swt, akan tetapi tidak mengabaikan duniawinya.
  2. Mengkhususkan diri beribadah semata - mata kepada Allah, karena Allah Swt telah menjamin hidup    
  3. duniawinya, karena ibadah – ibadah yang ia amalkan.
  4. Menempatkan diri sebagai orang yang berqana’ah (hidup sederhana)  dan menjaga kehormatan (iffah) dalam hubungan dengan sesama manusia.
  5. Tidak menyia-nyiakan pemberian Allah yang telah diterima oleh si hamba (seperti rezeki) yang tak terduga, untuk kepentingan manusia lainnya. Kemudian ia tetap istiqamah dalam ibadah yang dijalankannya.
  6. Jiwa dan ruh mereka tenang menikmati ibadah kepada Allah Swt.
  7. Mengembalikan seluruh persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada Allah Swt. Serta mengerjakan sesuatu perbuatan semata-mata karena izin Allah.
Demikian sifat-sifat orang-orang sadiqin yang beriman kepada Allah atas segala ciptaannya, menerima atas segala kejadian baik dan buruk yang datang dari Allah, kemudian berusaha untuk memberi faedah kepada sesama hamba Allah.
READ MORE - DALAM NASFU IBADAH

PUNCAK PENGHAMBAAN

Ridha merupakan bagian dari kesempurnaan penghambaan seseorang kepada Allah, dan penghambaan seseorang itu belum sempurna tanpa kesabaran, ketawakkalan, keridhaan, kepatuhan, kerendahdirian, dan berhajat kepada Allah Swt.
Terdapat banyak hasil (buah) yang dapat dipetik dari ridha, dan yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, ridha, gembira, dan senang kepada Allah Swt seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw bahwa beliau adalah orang yang paling ridha, paling gembira, dan paling senang dengan Tuhannya. Sesungguhnya ridha dengan Allah akan membuahkan ridha Allah kepada hamba yang bersangkutan. Karena sesungguhnya Allah meridhai orang yang menyembah-Nya; apabila Anda meminta dengan mendesak kepada-Nya dan merendahkan diri kepada-Nya, niscaya Dia akan menerima Anda.
Kedua, ridha akan menyelamatkan seorang hamba dari kegundahan, kecemasan, kesedihan, kekacauan hati, tertutupnya mata hati, dan buruknya keadaan. Oleh karena itulah, pintu surga dunia dapat dibuka dengan ridha sebelum surga akhirat. Ridha memastikan tikan tumbuhnya ketenangan, kesejukan, keten- teraman, dan keteguhan dalam kalbu. Sebaliknya, perasaan marah akan menimbulkan keguncangan, keraguan, keterkejutan, dan tidak adanya keteguhan dalam hati.
Ridha akan menurunkan ke dalam kalbu seorang hamba perasaan tenang yang tidak dapat diturun- kan kecuali dengannya dan tiada yang lebih berguna bagi kalbunya selainnya. Karena sesungguhnya manakala ketenangan telah bersemi dalam kalbu seorang hamba, maka dengan sendirinya dia menjadi istiqamah, baik keadaannya dan baik pula hatinya, sementara dia pun merasa aman, tenteram, dan berada dalam kehidupan yang baik.
Ketiga, ridha akan membebaskan seorang hamba dari sikap menentang Tuhannya dalam semua perintah, hukum, dan keputusan taqdir-Nya.
Ketika iblis diperitahkan untuk bersujud kepada Adam, dia mendurhakai perintah Tuhannya dan enggan melakukannya. Dia tidak ridha, katanya: "Mengapa aku mesti sujud kepada manusia yang Engkau ciptakan dari tanah?" Ketiadaan ridha dalam diri iblis mengakibatkan dia menentang perintah Tuhannya. Kalau demikian, berarti orang-orang munafiq masa kita sekarang ini, mereka tidak ridha dengan hukum Allah yang telah mengharamkan riba, hijab, dan polygami melalui ungkapan mereka dalam bantahannya terhadap Allah Rabb semesta alam.
Ucapan mereka berkisar mengenai perdebatan mereka terhadap Tuhannya tentang ketetapan hukum yang telah dibuat-Nya, meskipun mereka tidak mengutarakannya secara terang-terangan. Singkatnya, ridha akan membe- baskan manusia dari perdebatan seperti ini.
Keempat, ridha akan mewariskan rasa keadilan. Ridha akan menumbuhkan dalam diri seorang hamba rasa keadilan sifat Tuhan. Oleh karena itu, Nabi Saw mengatakan dalam do'anya: "Adalah sangat adil keputusan-Mu kepadaku."
Orang yang tidak merasakan keadilan Tuhan, dia adalah seorang yang melampaui batas lagi zhalim, karena Allah adalah Mahaadil di antara orang-orang yang adil hingga dalam masalah hukuman.
Potong tangan bagi pencuri merupakan hukuman, dan Allah Maha adil dalam peradilan dan hukuman- Nya. Oleh karena itu, Allah tidak boleh ditentang, baik dalam peradilan maupun hukuman-Nya.
            Kelima, ketiadaan ridha adakalanya karena luputnya sesuatu dari Anda, padahal Anda menyukai dan mengingin- kannya; atau adakalanya karena tertimpa sesuatu, padahal Anda tidak menyukainya dan sangat membencinya. Oleh karena itulah, seseorang yang tidak punya rasa ridha selalu dicekam oleh kegelisahan dan keguncangannya apabila mengalami sesuatu yang tidak disukai atau luputnya sesuatu yang disukai darinya hingga membuatnya mengalami derita jiwa yang tak berkesudahan.
Berbeda halnya jika seseorang mqmiliki rasa ridha, seandainya tertimpa sesuatu yang dibencinya atau luputnya sesuatu yang disukai darinya, dia sama sekali tidak menderita dan tidak pula merasa sakit, karena ridha yang ada dalam dirinya mencegah semuanya itu, sehingga dia tidak pernah berputus asa terhadap apa yang luput darinya dan tidak pula terlalu gembira dengan apa yang telah diraihnya.
Sesuatu yang disukai darinya, dia sama sekali tidak menderita dan tidak pula merasa sakit, karena ridha yang ada dalam dirinya mencegah semuanya itu, sehingga dia tidak pernah berputus asa terhadap apa yang luput darinya dan tidak pula terlalu gembira dengan apa yang telah diraihnya.
"(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan- Nya kepadamu." (QS. Al-Hadiid (57): 23)
Ridha sangat berguna sekali bagi seseorang hingga akan membuatnya tidak pemah merasa putus asa terhadap keinginan yang luput darinya, dan tidak pernah pula merasa bersedih hati atau kekeruhan terhadap musibah yang menimpa dirinya, karena semuanya itu telah tercatat dalam taqdir-Nya.
Keenam, ridha akan membuka pintu keselamatan dari tindak kejahatan korupsi dan membersihkan kalbu dari rasa dendam dan dengki. Karena sesungguhnya seseorang itu apabila tidak ridha dengan bagian yang telah diberikan oleh Allah kepada dirinya, niscaya perhatiannya senantiasa tertuju pada orang lain dengan pandangan yang sempit lagi penuh dengan kedengkian. Dia akan mengharapkan semoga kenikmatan lenyap dari tangan orang lain; dan rasa marah (kurang puas) akan menyuburkan hal-hal tersebut ke dalam kalbu pelakunya.
Ketujuh, ridha akan membuat Anda tidak pernah meragukan ketetapan Allah, taqdir, hukum, dan ilmu-Nya, se­hingga akan membuatnya pasrah kepada perintah-Nya dengan penuh keyakinan bahwa Dia Maha bijaksana apa pun yang terjadi. Berbeda halnya dengan orang yang marah (tidak ridha), maka selamanya dia meragukan kesemuanya itu; dan setan selalu menggodanya dengan bisikan apakah hikmahnya bisa terjadi begini dan begitu.
Oleh karena itulah, ridha dan yakin bagaikan dua bersaudara yang senantiasa bersamaan. Adapun marah dan ragu merupakan dua saudara kembar yang saling menempel satu sama lainnya.
Untuk itu, saran dari kami apabila Anda mampu berbuat dengan ridha dan yakin, maka lakukanlah; dan jika Anda tidak mampu melakukannya, maka sesungguhnya dalam kesabaran terkandung keba- ikan yang banyak.
Kedelapan,  di antara buah ridha yang terpenting ialah ridha akan membuahkan rasa syukur.
Orang yang marah tidak pernah bersyukur, karena dia selalu merasa merugi, haknya dikurangi, dan bagiannya diremehkan. Demikian itu karena sesung­guhnya dia berpandangan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah mendapatkan nikmat.
Marah timbul akibat dari sikap ingkar kepada pemberi nikmat dan mengingkari nikmat itu sendiri. Ridha muncul akibat dari bersyukur kepada pemberi nikmat dan mensyukuri nikmat itu sendiri.
            Kesembilan,  membuat seseorang tidak mengatakan kecuali hanya hal-hal yang diridhai oleh Tuhannya.
Marah akan membuat seseorang mengatakan hal-hal yang mengandung protes kepada Tuhan. Bahkan ada- kalanya dalam ungkapannya terkandung pengertian yang menjurus ke arah celaan terhadap Tuhan. Orang yang ridha terbebas dari kemauan hawa nafsu, sedang orang yang marah selalu mengikuti kemauan hawa nafsunya.
Adapun ridha tidak dapat dihimpunkan dengan mengikuti kemauan hawa nafsu. Oleh karena itulah, ridha dengan Allah dan ridha kepada Allah dapat mengusir hawa nafsu.
Orang yang ridha selalu mengikuti pilihan Allah. Dia merasakan bahwa dirinya mempunyai perbendaharaan yang tiada taranya apabila Allah meridhainya, sebab ridha Allah lebih besar daripada surga.
Karena sesungguhnya ketika Allah menyebutkan nikmat surgawi mengatakan dalam firman-Nya: "Dan keridhaan Allah adalah lebih besar." (QS. At-Taubah (9): 72)
Ridha Allah apabila berhasil diraih, maka keduduk- annya jauh lebih besar daripada surga dan semua kenikmatan yang ada di dalamnya.
Ridha adalah sifat Allah, sedang surga adalah makhluk; dan sifat Allah itu jelas jauh lebih besar daripada semua makhluk-Nya.
"Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya dan (mendapat) tempat-tempat yarn? bagus di surga 'Adn. Don keridhoan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar." (QS. At-Taubah (9): 12)
Jelasnya, yang tersimpulkan dari makna ayat ini menunjukkan bahwa ridha Allah lebih besar dari- pada surga.
Kesepuluh, ridha membebaskan seorang hamba dari kema- rahan manusia, karena sesungguhnya apabila Allah meridhai hamba-Nya, Dia akan membuat semua manusia ridha dengannya. Seorang hamba apabila berupaya untuk meraih ridha Allah, sudah semesti- nya tidak menghiraukan ucapan manusia.
Permasalahannya akan timbul manakala seseorang berupaya untuk meraih keridhaan dari sesama manusianya, maka dia akan merasakan dirinya begitu lelah, karena orang yang dikejarnya sama sekali tidak punya kemampuan untuk membuat orang lain ridha kepadanya, sehingga hidupnya berada dalam penderitaan.
Berbeda halnya dengan orang yang berusaha meraih ridha Allah, maka dia tidak akan menghiraukan ocehan orang lain sama sekali dan tidak pula akan memayahkan dirinya. Meskipun omongan orang lain sampai kepadanya, tentu tidak bakal akan menyakiti hatinya karena dia tidak mempedulikannya, selama Allah ridha kepadanya.
Kesebelas,     Allah akan memberi orang yang ridha kepada-Nya berbagai macam hal yang tidak dimintanya, bukan hanya karena pemberian Allah sebab do'a yang dimintanya saja, selama hal itu mengandung kemashlahatan baginya.
Keduabelas, ridha akan mengonsentrasikan kalbu seorang hamba untuk ibadah, bila berada dalam salatnya, kalbunya bebas dari gangguan waswas, dan bila ber­ada dalam ketaatan, hatinya tidak kacau, sehingga dia dapat meraih faidah yang optimal dari ibadah- nya. Ridha dapat memusatkan dan menjernihkan hati sehingga pelakunya dapat memanfaatkannya untuk ibadah.
            Ketigabelas, ridha mempunyai kedudukan yang menakjubkan bersama dengan amalan kalbu lainnyayang shalih. Pahalanya tidak pemah terputus dan tidak pula ada batasannya; berbeda dengan amalan anggota tubuh lainnya, yang pahalanya mempunyai batasan dalam waktu tertentu, maka amalan anggota tubuh lainnya terbatas, sedang amalan yang bersifah hati tidak terbatas.
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka dan berkata: 'Cukuplah Allah bagi kami.(QS. At-Taubah (9): 59)
         Dalam ayat lain dijelaskan:
"Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu, Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka," (QS. Muhammad (47): 28)
Sehingga terhadap hal-hal yang dilarang pun sudah menjadi keharusan bagi kita untuk memahami apakah makna ridha terhadap hal-hal yang dilarang. Sudah barang tentu kita tidak diperintahkan meridhai hal-hal yang dilarang sebagaimana tidak pula diperintahkan untuk menyukainya, karena sesungguh- nya Allah tidak meridhainya dan tidak pula menyukainya.
Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak pula meridhai kekufuran bagi hamba-hamba-Nya. Orang- orang munafik menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridhai oleh Allah. Bahkan mereka mengikuti apa yang dimurkai oleh-Nya dan tidak menyukai keridhaan- Nya. Sebab itu, Allah menghapus pahala amalan mereka.
Ridha yang dikuatkan oleh nash ialah: ridha dengan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan ridha dengan Muhammad Saw sebagai nabi anutan, ridha dengan apa yang telah disyari'atkan oleh Allah bagi hamba- hamba-Nya dengan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, mewajibkan apa yang diwajibkan-Nya, atau membolehkan apa yang dibolehkan-Nya.
READ MORE - PUNCAK PENGHAMBAAN

SURAT-SURAT CINTA DARI TUHAN

Tiada sesuatu pun yang lebih bermanfaat bagi kalbu manusia dan lebih mendatangkan kecintaan kepada Allah selain membaca surat-surat cinta dari Allah seraya merenungi dan memikirkan maknanya. Karena surat-surat cinta ini terhimpun di dalam semua jenjang yang akan dilalui oleh orang-orang yang menempuh jalan Allah dan berbagai keadaan yang akan dialami oleh orang-orang yang beramal.
 Membaca surat-surat cinta dari Allah sebagaimana tertuang dalam kalamNya Al-Quran disertai perenungan dan pemahaman terhadap makna yang tersembunyi di balik guratan tulisannya, merupakan perintah yang  membawa manfaat besar bagi pembacanya.
Allah Swt berfirman:
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (QS. Muhammad (47): 24)
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shaad (38): 29)
Inilah tujuan paling besar dan tuntutan yang paling penting bagi peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur'an. Diharapkan agar seorang hamba menyibukkan hatinya dengan memikirkan makna ayat-ayat yang dibacanya serta berinteraksi lang- sung dengannya dengan segenap perasaan dan daya imaginasinya, baik berupa permohonan do'a, per- mintaan ampunan, maupun pengharapan yang penuh dengan keoptimisan.
Hudzaifah ibnul Yaman telah menceritakan Hadits berikut bahwa pada suatu malam dia salat di belakang Rasulullah Saw, lalu beliau Saw memulai bacaannya dengan surat Al-Baqarah. Ketika sampai pada ayat yang keseratus beliau ruku', lalu melanjutkan bacaannya pada raka'at berikutnya. Sesudah itu beliau Saw membaca surat An-Nisaa', kemudian membaca surat Ali 'Imran. Bacaan yang dilakukan- nya begitu teratur dan tartil.
Apabila sampai pada ayat yang mengandung perintah untuk bertasbih, beliau mengucapkan tasbih; apabila sampai pada ayat yang menganjurkan untuk meminta, maka beliau meminta; dan apabila sampai pada ayat yang menganjurkan untuk meminta perlindungan, maka beliau meminta perlindungan.
Dahulu Nabi Saw apabila membaca surat Al-A'la yang mengandung perintah untuk bertasbih, maka beliau menghentikan sejenak bacaannya untuk membaca subhaana robbiyal a'laa, lalu melanjutkannya hingga akhir surat.
Hal ini akan mewariskan dalam diri pelakunya kecintaan, kerinduan, ketakutan, keoptimisan, pengaduan, tawakkal, ridha, syukur, sabar, dalam semua keadaan dan amalan kalbu.Dalam waktu yang sama akan menghardik diri pelaku-nya terhadap sifat-sifat yang tercela dan perbuatan - perbuatan yang buruk yang dapat merusak dan membinasakan kalbunya.
Hasan Al-Bashri  mengatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk diamalkan. Oleh karena itu, jadikanlah membacanya sebagai sarana untuk mengamal- kannya. Mentafakkuri kandungan makna Al-Qur'an merupakan pokok kebaikan kalbu, sedang meng- amalkannya adalah hal yang merealisasikannya. Oleh karena itu, keberadaan salah satunya harus disertai dengan yang lainnya.
READ MORE - SURAT-SURAT CINTA DARI TUHAN