Senin, 15 Agustus 2011

Al QUR'AN DAN SIMBOL PERADABAN


Salah satu fungsi utama al-Quran adalah hudan, yang berarti pengarah, petunjuk atau pembimbing. Pengertian hudan secara etimologi berarti petunjuk yang diberikan secara halus menuju ke arah sesuatu yang dicari. Dalam surat al-Baqarah (ayat 2) disebutkan, al-Quran berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi orang-orang yang bertaqwa. Penegasan kata “orang-orang beriman” menunjukkan pembatasan maksud dalam tataran dogmatis-religius.
Di bagian lain fungsi al-Quran disebut sebagai petunjuk bagi manusia (al-Baqarah: 185). Penegasan Allah dalam ayat ini bersifat universal tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan. Selama dia disebut manusia maka berpeluang memperoleh hudan.
Fazl al-Rahman Anshari mengatakan, ada tiga fungsi utama diturunkannya al-Quran adalah untuk membangun sifat religiustas dan bukan spekulatif; untuk mengembangkan kepribadian manusia dan masyarakat social berdasarkan agama serta tidak bersifat spekulasi dalam mengambil dan menetapkan rasio; membimbing manusia berdasal ilmu dan hikmah Tuhan yang absolut dalam bentuk pernyataan-pernyataan kebenaran.
Tentu masih banyak fungsi lain yang melekat dalam diri al-Quran bagi kepentingan hidup manusia. Baik untuk kepentingan individual, kelompok atau bagi kepentingan universal. Tulisan ini hanya akan mengupas satu fungsi terbesar Al-Quran bagi peradaban manusia.
Sebagaimana telah diketahui bahwa surat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad saw adalah al-Alaq: Bacalah!. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan demi Tuhanmu yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan qalam. Yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya (ayat 1 – 5).
Di dalam ayat tersebut perintah pertama kali yang diturunkan Allah kepada manusia adalah membaca. Menurut Ibrahim Anis, membaca adalah mengikuti kalimat demi kalimat yang tertera, baik secara penglihatan maupun pengucapan. Pengertian ini membawa maksud penyerapan informasi ke dalam pikiran dan perenungan (pengangan-anganan) di dalam hati. Jadi inti membaca adalah penggabungan dua unsur terpenting bagi manusia yang menjadi penggerak dirinya untuk berkarya dan berkarsa, yaitu pikiran dan hati. Dari membaca inilah kemudian pengetahuan manusia berkembang sesuai dengan perubahan jaman dan tuntutan kebutuhannya.
Ada dua tingkat pemahanam sangat urgen dalam memahami al-Quran , yaitu: tingkat kesadaran religuitas yang ditangkap oleh indera manusia dan tidak dapat diilustrasikan; dan tingkat kesadaran teoritis yang sangat menuntut adanya pendalaman serta penelitian di balik teks al-Quran. Masing-masing tingkat ini memiliki jangkuan lebih jauh yang dapat dikembangkan manusia dalam merefleksikan al-Quran.
Tanpa itu maka al-Quran akan menjadi sebuah kitab wahyu yang hanya berfungsi untuk memproduksi pahala tanpa pemahaman arti yang terkandung di dalamnya. Allah menurunkan al-Quran bukan sekedar menjadi alat produksi pahala.
Seorang dokter bedah asal Perancis, Maurice Bucaille, yang tiba-tiba mencuat namanya sebagai “mufassir” kontemporer menyusul bukunya The bible, The Qur’an and Science yang terbit (1972) mengatakan, al-Quran bukan saja berbicara tentang amal-pahala dan surga-neraka, tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Di tangan Bucaille, meminjam istilah Jalaluddin Rahmat, ayat-ayat al-Quran seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern. Dalam waktu singkat, popularitas Bucaille mampu menengelamkan para mufassir ilmi seperti Fahrurrozi, al-Baidhawi, an-Nisaburi maupun penafsir kontemporer Tanthawi Jauhari.
Terlepas dari kemampuan Bucaille yang lebih menguasai pengetahuan modern, al-Quran memang diakui banyak pihak sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jauh sebelumnya, al-Ghazali pernah membuat kesimpulan serupa bahwa al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas.
Persoalannya adalah adanya gap yang tidak terbatas pula antara ilmu Tuhan yang memiliki sifat al-Alim (Maha Tahu) dengan pengetahuan manusia yang lekat dengan predikat al-jahil (kurang cerdas). Keterbatasan pengetahuan manusia inilah yang sering mengundang ketergesaan intelektual untuk memvonis sesuatu sImbol ayat yang tidak mampu dijangkau oleh pemikirannya.
Prof. Tanthawi Jauhari, ketika menafsirkan penutup ayat ke 8 an-Nahl: Dan Dia telah menciptakan kuda, baghal dan keledai, agar kamu mengendarainya dan menjadikannya perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui; beliau mengatakan, ayat ini menjadi petunjuk bahwa segala perbendaharaan yang tersimpan di dalam bumi seperti logam dan sejenisnya, dapat dieksploitasi menjadi bahan untuk memproduk kendaraan dan alat transportasi, semisal mobil, kereta api, pesawat udara, kapal laut dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa al-Quran telah memberi wacara perspektif dan visioneri yang lebi jauh dari sekedar angan-angan.
Ketika al-Quran berbicara tentang teknologi, ia menenkankan pada pentingnya arti menguasai (taskhir) dan pemikiran (tafakur) terhadap suatu usaha pemanfaatan alam melalui pengunaan ilmu maupun penciptaan ilmu itu sendiri. Prof. Abdul Salam, satu-satunya ilmuan muslim penerima nobel fisika tahun 1979, di dalam epilognya mengatakan: Kitab suci ini mengemukakan kepada kita contoh Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman dengan penguasaan mereka terhadap teknologi di masanya.
Dan Kami jadikan besi lunak baginya”; (Q.S. 34: 10). Di lain ayat: “Kami tundukkan angina baginya”; (34:12). Dan “Ia mempunyai jin-jin di bawah perintahnya”; (34:12). Dalam pandangan Abdul Salam, ketiga ayat tersebut diartikan sebagai kemampuan mengendalikan mesin-mesin berat di jaman itu yang dioperasionalkan untuk memproduksi balok-balok bangunan istana, bendungan dan waduk. Penjelasan ini mengingatkan kita pada sejarah Dzulqarnain (Alexander De Groote) yang membangun benteng-benteng pertahanan menggunakan konstruksi balok-balok besi yang dilapisi dengan cairan tembaga.
Jauh sebelum itu, ketika Tuhan memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat kapal di bawah supervisi dan petunjuk-Nya (bi a’yunina wa wahyina), susah dibayangkan bagaimana Nuh memotong pohon dan membelahnya menjadi papan-papan, dan bagaimana pula beliau menyusunnya menjadi sebuah geladak kapal. Apakah Nabi Nuh mengerjakan semuanya menggunakan lempengan batu – sebagaimana sering disampaikan oleh para ahli sejarah neoilitikum – karena di masa itu diklaim belum ada teknologi besi. Argumentasi itu tentu menjadi aneh ketika diperbandingkan dengan (misalnya) pengrajin meja-kursi (mebelair) di secara umum. Hanya untuk membuat meja-kursi, tukang kayu memerlukan gergaji, serut, hammer (palu), paku dan beberapa jenis peralatan lain untuk mendukung terbentuknya sebuah meja-kursi yang bagus.
Maka, sangat tidak rasional, jika orang yang akan membuat meja-kursi saja memerlukan beberapa alat tersebut, sementara pembuatan kapal Nabi Nuh cuma menggunakan lempengan batu karena klaim neolitikum!. Di sini menunjukkan adanya sesuatu yang hilang (missing link) dalam kajian ilmiah untuk menelusuri kebenaran sejarah teknologi itu. Betapa ayat al-Quran yang menerangkan peristiwa pembuatan kapal Nabi Nuh, sudah mengenal serangkaian teknologi besi yang dipersiapkan untuk pembuatan kapal, jauh sebelum kajian manusia sampai ke sana.
Dalam sebuah ayat yang lain, Allah menegaskan bahwa orang-orang yang sombong kepadaNya, tidak akan pernah dibukakan pintu-pintu langit dan tidak masuk surga, kecuali jika unta masuk ke lubang jarum (al-A’far: 40). Ayat ini jika difahami secara tekstual, tidak menghasilkan makna apa-apa selain pemahaman yang berhubungan dengan keimanan. Padahal ayat ini memiliki pengertian yang sarat dengan nilai peradaban.
Jarum, yang dikatakan Allah dalam ayat itu, sebelumnya tidak dikenal orang. Tetapi al-Quran (Allah) telah memperkenalkannya sebagai simbol pengetahuan modern yang merubah peradaban manusia. Hanya dengan jarumlah manusia mampu menciptakan budaya baru yang membedakan antara manusia terbelakang dengan manusia modern. Paris menjadi kota mode terkemuka di dunia juga karena jarum!
Tepat sekali Abdul Salam, kitab suci al-Quran tidak mengemukakan sesuatu begitu saja, namun sekaligus menjadi dorongan proyeksi ke depan dan menjadi contoh untuk diikuti masyarakat. Jika ayat-ayat tersebut dikaji, maka secara substansif yang munculkan adalah pengertian metalurgi, teknik konstruksi berat, teknologi energi yang menggunakan jasa udara (angin) dan komunikasi.
Landasan pemikiran tentang masalah itu sudah lama disajikan kepada kita. Persoalannya adalah sejauh mana kemampuan generasi ini mengeksploitasi ayat-ayat al-Quran menjadi sebuah menu yang berguna untuk membangun sebuah peradaban terbaru yang ramah dengan lingkungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar