Senin, 15 Agustus 2011

Pembangunan Kudus Tanpa Konsep


Belakangan ini Pemerintah Kabupaten Kudus sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan pusat perbelanjaan. Bupati Mustafa nampaknya melihat, betapa Kudus yang notabene kota kecil ini memiliki potensi besar untuk pengembangan ekonomi dan sekaligus menjadi arena rekreasi shoping. Kudus adalah kota persimpangan yang yang secara geografis terletak di pertengahan antara empat kabupaten; Jepara, Purwodadi, Pati, Demak. Potensi ini sangat menjanjikan bagi peningkatan ekonomi masyarakat khususnya bagi PAD Kudus.
Persoalannya bagaimana cara penangan yang dilakukan oleh kepada daerah Kabupaten ini (Kudus), apakah sesuai dengan kondisi sosiologis dan regulasinya atau tidak. Di bawah ini kami mengajak pembaca mencermati wawancara kami bersama seorang pegiat sosial  dan politik alumni dari Universiti Malaya, Malaysia, Fakultas Dakwah dan Pembangunan Sumberdaya Manusia. Ia adalah Asmaji Muchtar, Ph.D atau yang popular dengan nama Abu Asma Anshari yang berprofesi sebagai Dosen Pasca Sarjana pada Islamic Studies Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Universitas Sains Al-Qur'an Wonosobo.
- Bagaimana anda melihat pembangunan di Kudus selama tiga tahun pemerintahan Mustafa, apakah sudah sesuai dengan keinginan masyarakat yang dikenal religius?
+ Saya mendengar dan saya melihat, pasca kemenangan Mustafa yang dilanjutkan dengan kepemimpinan dia di Kusud, muncul persoalan-persoalan yang kurang lebih sama dengan yang terjadi di beberapa kabupaten lain terkait dengan rooling job di lingkungan Pemda. Di sini bupati melakukan pergantian jabatan secara politis tanpa memperhatihan prinsip the right man of the right place, the right man of the right job. Orang yang bertahun-tahun mengabdia dalam pemerintahan di bidang pendidikan, di paksa menangani pariwisata, atau ada pula yang memiliki keahlian yang sama dipindah ke bidang trasmigrasi, dan masih banyak lagi. Pemindahan ini jelas mengabaikan prinsip-prinsip tersebut. Saya curiga Bupati tidak memahami prinsip itu. Sebab dengan mengesampingkan prinsip tersebut, orang dipaksa mengulang dari nol. Bagaimana dia mampu bekerja baik jika keahlian di bidangnya tidak dikuasai.
Soal apakah langkah-langkah Mustafa itu sesuai dengan keinginan masyarakat Kudus atau tidak, itu perlu dibuktikan melalui survey yang adil dan ilmiah.
- Kalau yang Anda katakana itu merupakan kesalahan langkah Mustafa di awal pemerintahannya, toh itu sudah diperbaiki. Sekarang berbeda, kali ini Mustafa membuat terobosan-terobosan mencengangkan di bidang pengembangan ekonomi. Dia membangun mal yang letaknya strategis, yakni di depan Matahari Store. Bagaimana Anda melihat.
+ Saya ingin meluruskan statemen anda yang pertama bahwa Mustafa sudah memperbaiki kesalahannya dengan mengganti orang-orang yang lebih kapabel di bidangnya. Justeru ini sangat aneh, seolah-olah ia menangani pemerintahan seperti orang sedang latihan membuat roti, di mana dia menggunakan metode trial and error, coba-coba. Saya melihat, model pemerintahan seperti ini paling disukai oleh para politisi kita yang terjun dalam pemerintahan tanpa bekal pengalaman. Seakan-akan mengurus Negara dan membangun pemerintahan itu dapat dilakukan secara spekulatif. Kalau begini caranya kapan negara ini maju. Bahkan, mustahil negara ini bisa baik. Sebab pola yang diterapkan dari atas hingga bawah semua sama.
Mengenai terobosan membuat mal seperti yang Anda katakana tadi, justeru itu acsiden, kecelakangan yang parah. Di sini Mustafa telah melanggar prinsip peruntukan kawasan dan tatakota. Asas pemindahan terminal induk Kudus ke Tanggulangin yang dilakukan oleh Bupati sebelumnya, tidak lain untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan hijau. Sampai sekarang belum ada perda atau regulasi lain yang membolehkan kawasan tersebut untuk peruntukan lain. Tetapi enehnya DPRD yang diposisikan oleh rakyat sebagai wakil mereka juga tenang-tenang saja. Masayarakat dalam kes ini sesungguhnya bisa melakukan class action, terutama oleh stakeholeder`s yang masih memiliki nurani dan pengabdian kepada masyarakat, ketika melihat para wakilnya tidak berdaya.
- Tapi, bukankah itu pembagunan yang strategis untuk menaikkan citra Kudus dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang perlu diapresiasi?
+ Untuk apa citra, kalau isinya penuh borok dan kudis?. Bagi orang yang tidak mengerti pembangunan akan berpendapat begitu, tetapi bagi yang mengerti arti pembanguan akan berkata lain. Prinsip pembanguna yang benar itu apa?, mensejahterakan masyarakat secara umum (luas) dan bukan merusak lingkungan. Dari segi strata sosial yang dibidik dalam pembangunan itu pastilah bukan kelas bawah. Artinya, rakyat kelas bawah yang hidup di perlintasan garis kemiskinan atau di atasnya sedikit, tidak mungkin mampu menggunakan uangnya untuk belanja. Karena penghasilan mereka tidak cukup. Mestinya, Mustafa mengarahkan pembangunan di sektor ini. belum lagi ditinjau dari segi kerusakan lingkungan.
Anda jangan salah persepsi. Dalam sudat pandang sosiologis, yang disebut kerusakan lingkungan itu bukan hanya terkait dengan jumlah tanaman yang ditebang. Tidak tersedianya areal parkir memadai menyusul berdirinya sebuah objek fasilitas umum yang berdampak pada kesemprawutan lalu lintas, itu juga bagian dari kerusakan lingkungan. Di Jepang, Singapura dan juga Malaysia, sebelum dilakukan sebuah pembangunan yang berdampak pada keramaian, pertama-tama yang dipikirkan adalah bagaimana efek sosiologisnya. Bagaimana dengan tempat pakirnya dan bagaimana dengan kelangsungan hidup perdagangan kelas bawah?
Anda juga perlu tahu. Dulu, saat Mal Ramayana-Robinson di bangun di kasawan alun-alun, ada sejumlah tanaman (pohon) yang dikorbankan. Saat itu Kantor Lingkungan Hidup (Kabupaten Kudus) bereaksi keras, begitu juga ada sejumlah LSM yang bereaksi sama. Padahal, area itu peruntukannya tidak menyalahi aturan, dari area ekonomi kembali ke ekonomi. Yang terjadi sekarang tidak. Yang dikedepankan adalah prinsip pembangan mercusuar, pembangunan yang wah, sekalipun isinya keropos. Saya akan lebih apresiatif kepada Bupati Mustafa kalau dia mampu melebarkan jalan alternatif di Kedungpaso (Jl. Dr Wahidin) dan memasang traffic light di perempatan Menara.
- Ah, Anda ini aneh. Masak perbandingannya dengan hal yang kecil-kecil begitu?
+ Orang lain mungkin memandang remeh, tetapi saya (memandangnya) tidak begitu. Kalau yang remeh-remeh saja tidak mampu apa lagi pembanguan yang lebih besar?. Kalau hanya membuat mal, siapa saja bias, selama tandatangannya laku. Apalagi bukan uang sendiri. Contohlah founding father kita, Soekarno. Beliau itu bukan hanya agitator yang ulung, tetapi juga konseptor yang baik dalam bidang pembangunan. Sehingga kepada Amerika pun, beliau berani mendongakkan kepala karena keberhasilannya. Hanya Soekarno kurang beruntung karena langkah politik yang salah.
Di Kudus ini masih banyak agenda pembangunan yang belum tertangani. Persoalannya, apakah pemimpinnya itu memiliki konsep atau tidak, apakah bupati memiliki maping area atau tidak. Kalau Bupati punya konsep pembangunan yang baik ideal yang berimbas pada peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pasti tidak perlu mengorbankan sebuah tatanan yang sudah disepakti sebelumnya. Masyarakat kita itu terlalu baik, pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh pemimpinnya, dan dalam waktu kepemimpinannya tidak membawa efek manfaat yang memadai, tidak juga direspon secara negatif. Bukatinya, ada banyak bupati incumbent yang sebelumnya gagal menjalankan tugas pembangunan, ternya dipilih lagi. Yang demikian ini hanya ada di Indonesia.
- Menurut Anda, bagaimana pemimpin yang baik dalam menjalankan pembangunan?
+ Untuk menjawab pertanyaan ini Anda bisa mencontoh pola kepemimpinan yang terapkan oleh Soeharto dalam satu sisi, sekalipun kita membenci beliau. Mulanya Soeharto itu tidak memiliki kapabilitas dalam bidang ekonomi, taunya beliau itu represif. Namun untuk membangun tatanan ekonomi yang bagus – dulu dikenal dengan konsep ekonomi Pancasila – beliau memanggil sejumlah pakar ekonomi untuk diskusi. Misalnya, Prof. Wijojonitisastro, Prof, Sadli, Fran Seda, BJ. Sumarlin, Prof. Emil Salim, dan masih banyak lagi. Dari pendapat-pendapat mereka ini lalu di ambil Soeharto untuk diterapkan sebagai kebijakan negara dalam pembangunan ekonomi. Hasilnya, Indonesia dalam beberapa waktu mampu bersuasembada pangan. Indonesia menjadi Negara percontohan di bidang pertanian dan bahkan Indonesia menempati negara yang paling baik pertumbuhan ekonominya, sehingga mendapat predikat macan Asia.
Kita mengakui, total nilai utang Indonesia saat itu sangat besar, mendekati seribu triliun. Tetapi nilai utang sebesar itu tidak jadi masalah selama pertumbuhan ekonomi sangat ekspansif. Beda sekarang, pertumbuhan ekonominya lambat, jumlah orang miskin meningkat tajam, sementara hutang negara juga mencengangkan besarnya. Ini karena negara konsep pembangunan tidak menyentuh substansinya. Sayangnya, belakangan Soeharto terjerat oleh angkah politiknya sendiri hingga jatuh.
- Apa yang harus kita lakukan?
+ dalam skala kecil (baca Kudus), kita harus mengingatkan Bupati. Kalau tetap ngeyel yang class action, itu sah dan dijamin undang-undang. Sebab Bupati telah melakukan pelanggaran.

4 komentar:

  1. ini baru tulisan untuk kudus. lanjutkan aja bung

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum pak DR. ASMAJI MUCHTAR saya mahasiswa S2 UNSIQ Wonosobo salam kenal saya pengen belajar banyak dari karya-karya anda

    BalasHapus
  3. masukan yang sangat berarti untuk masyarakat kudus, semoga masyarakat kudus akan lebih sadar lagi pentingnya konsep tata kota. tidak hanya untuk faktor lingkungan alam saja, tetapi supaya timbul keseimbangan antara lingkungan alam dengan lingkungan sosial masyarakat kudus.

    BalasHapus
  4. dengan semakin banyak pembangunan mall dan ruko menjadikan kudus sebagai sentra bisnis yang sangat menjanjikan, namun apa dengan pembangunan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan??

    justru dengan semakin banyak dibangun mall dan ruko akan menjadikan masyarakat kudus yang notabene dulu adalah masyarakat yang agamis, menjadi serba hedonis konsumtif,

    baru kali ini di kudus saya mendengar kalau mall hypermart pernah kebanjiran, air sampai masuk kedalam,, ini adalah bukti bahwa pemerintah dalam membangun tanpa memperhitungkan sanitasi dan keseimbangan dengan lingkungan, jika ini terulang kembali dalam pembangunan-pembangunan mendatang, tak heran kudus bisa berubah menjadi kota banjir ke dua setelah semarang

    BalasHapus